‘Mendandani’ Kolase-kolase yang tak berkonsep

Awalnya, Angki Purbandono (Ruang Mes 56) menyodorkan saya setumpuk kolase diatas lembaran majalah yang disimpannya dalam tas. Setumpuk karya tersebut berhasil membuat saya tersenyum. Akhir-akhir ini, karya kolase diatas kertas majalah macam itu jarang saya temukan. Tidak mudah untuk menarik satu benang merah diantara ke-34 karya kolase ini. Tidak ada keseragaman isi, tidak ada kesepakatan cara berkomunikasi, apalagi pesan yang disampaikannya. Saya pikir, Angki sedang iseng dan bermain-main dengan media yang hampir dilupakan akhir-akhir ini. Ternyata saya salah.

Karya-karya kolase itu merupakan ciptaan sejumlah mahasiswa STIEHUNT-YKPN ¾ perlu saya tegaskan bahwa mereka berjurusan ekonomi. Kolase, sebagai salah satu teknik berkarya, memang sudah digunakan para pehobi seni sejak entah kapan. Beberapa sumber menjelaskan bahwa teknik gunting-tempel ini digunakan sejak adanya inovasi kertas 200 SM di Cina dan sampai abad ke-10 masih digunakan para penulis kaligrafi Jepang. Teknik ini memang membuat para pehobi lebih mudah mengekspresikan apapun yang ingin dilakukannya tanpa terikat teknik seni yang spesifik. Namun demikian, sejumlah catatan sejarah seni rupa menuliskan bahwa kemunculan kolase pertama kali adalah pada 1912 oleh Pablo Picasso dan Georges Braque (Edward Lucie-Smith, Visual Arts in the Twentieth Century, 1996).

Kalau Picasso, dalam Nature-morte à la chaise cannée (diterjemahkan bebas sebagai: Alam Mati pada Kursi Rotan, 1912), berusaha mengembalikan realita dalam ilusi kubismenya, kesadaran kolase sekarang (hampir) tidak berhubungan dengan realita. Apa yang dapat dikatakan realita sekarang terus dipertanyakan dan dikritisi. Semenjak Baudrillard dan hiperrealitasnya, kenyataan dan simulasinya memang semakin sulit didefinisikan, apalagi diperbandingkan atau diperdebatkan. Segala sesuatu harus dilihat secara kontekstual ­­­¾minimal menurut saya. Guntingan-guntingan gambar dari berbagai majalah yang digabungkan menjadi satu itu bisa saja ditelusuri asal-usulnya: Dari majalah mana, dari iklan apa, atau kapan waktu pembuatannya.  Saya memilih untuk tidak melakukan cara tersebut pada setumpuk karya yang kemudian dipresentasikan dengan tajuk Make Up ini.

Kebermainan yang ditawarkan oleh kolase-kolase ini begitu beragam. Saya merasa sayang kalau harus membacanya berdasarkan sejarah gambar yang digunakan. Dari ke-34 karya itu, saya menemukan tiga kecenderungan tendensi penciptaan. Kecenderungan-kecenderungan ini tidak terikat dalam suatu aturan main yang pasti. Namun, dalam ketiganya ada tiga kata kunci: Bentuk, bermain, dan bercerita.

Area #1:
Bermain dengan Bentuk
(klik di sini untuk melihat karya)

Area ini saya perkenalkan terlebih dahulu karena, secara kuantitas, karya-karya dalam area ini lebih banyak. Selain berisi sejumlah karya dengan kecenderungan ‘bermain dengan bentuk’, area ini juga merupakan yang paling krusial secara keseluruhan. Sebuah kalimat yang keluar dalam salah satu obrolan bersama para pekolase ini memicu saya membuat area pertama. “Ya, keren aja kalo digituin,” aku salah satu peserta Make Up. Karya-karya dalam area pertama ini dibuat dengan tendensi penciptaan artistik dan estetis.

Estetika memang relatif. Tingkat kebermainan karya-karya dalam area ini adalah pada komposisi, warna, sampai kepada bentuk akhirnya. Teknik gunting-tempel digunakan untuk menghasilkan sebuah bentuk baru yang baik ¾apapun definisi dan bayangan Anda tentang baik bukanlah patokannya. Kenyataan bahwa karya-karya ini berkesempatan memiliki cerita bukan berarti tidak ada sama sekali. Namun, hal itu bukanlah tendensi utama penciptaannya.

Lihat bagaimana Andrew, Philip, dan Bimo merekonstruksi tubuh seorang perempuan dari benda-benda bernuansa maskulin. Bimo menggunakan beragam mobil yang senada warnanya namun berselingan dengan kipas angin, dua pasang mata, dan senter, sementara kolaborasi Andrew dan Philip dengan gadgets (layar komputer, discman, dan speaker) yang menghasilkan walkgirl (versi perempuan walkman). Sementara Tommy, Rafika, Renal, Sekar #2, dan Icha. Eko #1, Utet #3 dan Sekar #3, dengan cara bertentangan, juga mereproduksi bentuk perempuan. Mulai dari ketidak-proporsionalan ukuran, sampai ke perbedaan jenis kelamin dan ras antara kepala serta badan dalam karya-karyanya.

Masih dalam area ini, ada Feby dan Kharis dengan perempuan-perempuan berkepala binatang; kolaborasi Ragil dan Tiwi dengan binatang bergaya manusia; dan Andrew yang menciptakan manusia berkepala anjing-serigala berdampingan dengan anjing-serigala berkepala manusia. Berbeda dengan keempat karya berikut: Awal #4, Ragil, Yogi, dan Idhul #2 bermain-main dengan lebih bebas dalam area ini. Tidak ada rekonstruksi terhadap apapun pada karya mereka. Hal itu jugalah yang menegaskan kesadaran mereka bermain dengan bentuk akhirnya.

Berkebalikan dengan Idhul #1 yang rekonstruksinya lebih mengarah pada reproduksi muka perempuan yang dibuatnya menantang kembali kesadaran bermain dengan kolase. Dengan gunting-tempelnya, Idhul #1 membangun kembali muka perempuan yang proporsional, bahkan (hampir) sesuai dengan gambar asli dalam lembaran awalnya. Dibalik ketekunan membangun kembali suatu gambar, ada berbagai kisah yang bisa digali dari berbagai perspektif. Namun, tendensi dalam pembuatan karya tersebut masih sama dengan karya-karya yang mendahuluinya: Bermain-main dengan bentuknya. Kolase Idhul #1 mengakhiri area pertama ini dengan posisi yang paling potensial untuk bercerita dengan bentuknya.

Area #2:
Bercerita dengan Bentuk (klik di sini untuk melihat karya)

Tak banyak karya dalam area ini. Ketegasan Angki dalam mengajukan kolase sebagai media untuk terapi visual tampaknya punya pengaruh besar. Angki memang berpesan kepada para pekolase untuk tidak membatasi diri dalam konsep (dan tema atau cerita) apapun dalam berkarya selama prosesi lokakaryanya. Kemudian, sebelum disodorkan kepada saya, Angki sudah terlebih dahulu menyeleksi kolase-kolase anggota UKM Fotografi STIEHUNT YKPN ini. Dalam pembicaraan lebih lanjut berikutnya, saya tahu bahwa Angki memilih karya-karya yang kecenderungannya adalah eksplorasi media, tanpa embel-embel konsep. Saya melihat sederetan karya-karya ini memiliki tendensi bercerita yang sangat besar.

Ya, bercerita melalui bentuknya. Lihat saja Awal #1 yang ‘mengatakan’ bahwa makanan yang, seenak apapun, akhirnya akan dibuang juga; dan Dwi Aji yang ‘berkata’ bahwa kesempurnaan tampilan tidak pernah menjamin isi kepalanya. Keduanya ironis. Atau, lihat Dona, dengan kepala kedua dari tokoh perempuan yang seakan adalah sisi jahat/lainnya; dan Vika, dengan visualisasi dua sisi wajah yang berbeda. Mereka juga bercerita dengan nada serupa.

Dua karya lainnya, berbicara tentang isu militer. Eko #2 dengan kesemena-menaan tentara Amerika dalam memperlakukan banyak lapisan dalam masyarakat. Lihat saja warna kulit dan karakteristik muka hasil gunting-tempel yang telaten pada area muka pria berbaju merah itu. Sementara Utet #2 dengan siluet tentara diatas botol yang bersinar ditempel diatas sejumlah ekspresi yang tidak mengindikasikan kesenangan atau kebahagiaan. Ketiga pasang karya di atas seolah sepakat membicarakan satu hal: Dualitas. Rasanya, dua (dan/atau sepasang) sekarang (hampir) sah menjadi kata kunci kedua dalam area ini.

Area #3:
Bermain dengan Bentuk yang Bercerita, Bercerita dengan Bentuk yang Bermain (klik di sini untuk melihat karya)

Apabila dilihat dalam bagan di atas, area terakhir ini adalah wilayah yang berkotak-kotak hijau. Area ini merupakan ekuivalensi antara area pertama dan kedua. Sehingga kedua unsur dalam area-area diatas berulang dengan cara, bentuk, dan tendensi yang berbeda. Dimulai dari iklan permen mint yang dibuat (semakin) hiperbola oleh Daniel. Kemudian, Utet #1 menggambarkan komedi kehidupan sarjana muda yang akhirnya (harus) bekerja tidak sesuai dengan kemampuannya, baik di salon atau restoran makanan cepat saji. Ada juga Ima: Ia menggambarkan kecemburuan sosial terhadap perempuan kulit putih (baik secara fisik ataupun mental).

Secara berturut-turut, dua peserta dalam dua karyanya kemudian mengangkat isu-isu populer. Mereka adalah Awal dan Tiwi. Awal #2, dengan remaja setengah punk-nya, seakan-akan menertawakan dengan sinis gerakan punk yang makin hari makin menjadi semacam gaya hidup populer. Selain, muka dan pakaian sang remaja pria berhasil memberikan kesan anak-rumahan, kupu-kupu diatas kepalanya mengafirmasi kemanisan remaja punk ini. Awal #3 dengan Eccesso di sebo: (minyak kulit muka yang berlebihan), lelehan muka dan ‘berantakan’nya muka sang model juga bercerita cukup verbal tentang perempuan, pengorbanan (dan/atau guilty pleasure) terhadap make up.

Kemudian, ada Tiwi #1 yang bermain-main dengan organ-organ muka Billy Joel. Ia menegaskan citra kenakalan sang ikon punk rock senior; dan Tiwi #2 mengganbarkan perempuan berpenampilan ala remaja pemberontak, yang juga merepresentasikan dualitas antara penyiksaan diri berpenamapilan demikian dan (semacam) keharusan mengikuti gaya hidup yang sedang populer walau akhirnya menyiksa diri. Penggambaran rambutnya menggunakan kaki dan sepatu mempertegas semua itu.

Berbeda dengan dua karya berikut yang kebermainan didalamnya (justru) memperluas makna gambar yang digunting-tempelnya. Nandia Cista menambahkan potongan gambar kipas pada politisi yang sedang diteror wawancara oleh wartawan. Apa yang ingin disampaikannya? Berbagai kemungkinan untuk menjawabnya. Saya lebih suka melihatnya sebagai pernyataan “Give me a break” dari pihak yang diwawancara (karena jenuh akan pertanyaan-pertanyaan media) dan dari pihak masyarakat konsumen media massa (yang jenuh akan konstruksi kebenaran yang dibangun oleh media massa).

Terakhir, ada Utet #4 yang bermain dan bercerita lewat visual iklan film thriller berjudul Number 23 yang diguntingnya sebuah halaman majalah yang ¾entah rubrik atau judul majalahnya¾ adalah fresh. Gambar bernuansa gelap yang seharusnya menakutkan seperti filmnya itu ditempelinya dengan bibir senyum sumringah. Apa yang dilakukannya mengejek kualitas si film yang memang tidak bagus itu ¾kalau Anda tak sependapat dengan saya, silahkan periksa rating film ini di Rotten Tomatoes. Ya, menurut saya, film ini jelek. Alih-‘alih menakutkan’, film ini malah butuh penyegaran seperti yang ‘disarankan’ Utet #4 melalui karyanya.

Tidak Berkonsep adalah Sebuah Konsep
Tendensi penciptaan ini (bisa jadi) tidak berhubungan dengan makna yang kemudian timbul dari masing-masing karya dan pembacanya. Dan, saya tak menyangkal adanya makna yang kemudian muncul ketika pada akhirnya karya-karya ini dipajang dan kemudian dilihat kembali. Bahkan, diantara para pembuatnyapun mereka merasa adanya beberapa makna yang kemudian muncul setelah karya-karya mereka saling didiskusikan dan dipertukarkan satu sama lainnya.

“Jadi kamu punya agenda, atau maksud lain, nggak selain asal gunting-tempel saja?” sebuah pertanyaan saya lontarkan kepada para pembuat kolase ini. “Menurut aku keren. Sudah. Begitu saja, kok,” satu menyahut. “Ya, kalau aku sih pingin orang yang ngeliat tahu maksudku apa,” sahut yang lainnya. “Kalau aku, sih, pas liat punya temen udah jadi, eh, ini maksudnya gini ya… Langsung punya tebakan aja apa artinya,” sebuah suara terdengar belakangan.

Keragaman jawaban yang muncul bukan karena tiadanya kesepakatan dalam mengerjakan karya-karya Make Up ini. Alpanya konsep dalam pembuatan kolase-kolase ini adalah cara untuk mewujudkan agenda terapi visual Angki. Para peserta Make Up ini sudah terbiasa dengan konsep-konsep dalam pengambilan foto. Para pembuatnya memang bukan tak biasa berhadapan dengan fenomena visual, walau tidak berbasis pendidikan seni. Sehingga, perlu diberikan batasan dalam membuat karya-karya yang bertujuan terapi ini. Tidak boleh berkonsep bisa terdengar sangat naïf dan luas. Namun, hasil yang dicapai jelas cenderung lebih bebas dan lebih bermain.

Entah para pekolase ini sadar atau tidak, teks (huruf latin) yang ada dalam karya-karya mereka berkesempatan memperluas, menegaskan, atau malah mengerucutkan pemaknaan terhadap karya mereka. Seperti misalnya pada Utet #1, karya yang menggambarkan ironi kehidupan ini dipertegas dengan teks yang tercantum di pojok kanan bawahnya … Buat apa selalu berperilaku serius? Bukankah hidup ini menyenangkan?. Juga seperti yang tercantum pada karya Awal #4, The Cut. Must have items, yang mempertegas posisi kebermainan gunting-tempel sebagai terapi visual. Pada karya Renal, tertera teks My best friends are not diamonds yang memperluas kemungkinan pembacaannya menjadi pria kulit hitam yang berbeda (dari aspek proporsi tubuh, warna kulit, sampai dengan pemikiran) dengan perempuan kulit putih.

Masih ada beberapa karya yang ¾lagi-lagi saya ulang, entah sengaja atau tidak¾ yang cukup menarik untuk Anda telusuri makna-maknanya. Ya, keragaman hasil karya yang dibuat dengan batasan tidak boleh berkonsep ini akhirnya menghasilkan suatu pola. Saya, bahkan, sudah mengategorisasinya menjadi tiga kecenderungan. Inilah yang saya maksud dengan tidak berkonsep adalah sebuah konsep: Pola yang muncul berada dalam satu tema yang, akhir-akhir baru saya ketahui, sudah dirancang dengan baik oleh Angki: Make Up.

Ya, mereka berhasil mendandani lembaran-lembaran majalah!

 

Make Up!
An exhibition of a collage workshop by Angki Purbandono

V-Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia
3 – 15 November 2008

 

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: