Berkesenirupaan untuk kepentingan sang seniman: Inkonsistensi yang tidak menjadi sebuah konsistensi baru

Sebuah pertanyaan mendasar muncul ketika saya melangkah perlahan mengelilingi Sika Gallery, di Ubud, yang sedang memamerkan karya-karya I Made Muliana Bayak: Apa itu seni? Sebenarnya, ada berbagai definisi seni dari beragam pemikir. Untuk itu, saya memilih untuk percaya pada apa yang secara implisit disampaikan Jakob Soemardjo dalam Filsafat Seni (Penerbit Ganesha, 2000). Seni harus memberikan sebuah pengalaman baru.

Pengalaman baru, dalam konteks karya seni, adalah sebuah pengalaman perasaan yang didapatkan dari sebuah karya. Bukan dari sejarahnya, bukan dari judulnya, dan, yang pasti, bukan juga dari pengetahuan akan siapa seniman pembuatnya. Begini mudahnya: Melihat video karya Sung Hwan Kim, In the Room, tentang seorang diktator Korea di masa kecilnya membuat saya bisa memahami, sekaligus merasa mengalami, otoriteritas yang disampaikannya menggunakan media audiovisual itu. Maka, pengalaman baru adalah sebuah pengalaman perasaan yang sudah pernah dialami/diketahui sebelumnya, namun melalui media (atau kejadian) lain. Nah, karya-karya dalam pameran tunggal pria lulusan Institut Seni Indonesia Denpasar ini tidak memberikan pengalaman baru itu –minimal, tidak bagi saya.

DSC_0020

Memasuki Sika Gallery, pengunjung ditawarkan dengan sebuah instalasi objek di atas meja penerima tamu. Dengan judul Long Live Rock n Roll, objek itu dibuat dari kayu dan beberapa lempengan alumunium menyerupai gitar. Badan gitarnya berwarna merah dan gagangnya berwarna cokelat kayu. Diatasnya ada dua stensil wajah orang, tulisan rock, coretan-coretan spidol, dan sebuah stiker bendera Indonesia dengan teks musik adalah senjata. Saya mengasosiasikan objek itu sebagai sebuah benda yang menyerupai gitar. Pada label karyanya, tertera sebuah catatan Size: object real guitar size.

DSC_0022

Karya-karya yang disebut sebagai objek ini selalu membingungkan saya. Mengapa tak menggunakan benda yang sesungguhnya saja? Apa yang diharapkan dari perekonstruksian sebuah benda? Efek perekonstruksian ini, bagi saya, adalah kesan palsu. Mengingat judulnya, sangat kontradiktif apabila yang ingin disampaikan sang seniman adalah gitar palsu. Apalagi kalau harus mengusik bentuk objek ini secara formal. Gagang dan badannya tidak proporsional, pewarnaan menggunakan cat tidak rapih, dan stensil diatasnyapun berantakan. Atau, jangan-jangan yang berusaha disampaikannya adalah rock ‘n roll adalah aliran musik yang bersenjatakan kepalsuan?

Kontradiksi, dalam perihal pameran tunggal seniman kelahiran 1980 ini, tampak dari berbagai perspektif. Art for Artist Sake; demikian tajuk pamerannya yang juga didukung oleh pernyataannya bahwa seni itu katarsis. Apabila membaca tulisan pengantar pamerannya, tajuk pameran inipun akhirnya patut dipertanyakan. Ditengah-tengah keasyikan sang seniman mengurasi pamerannya sendiri, ia juga menyatakan bahwa ia berkesenian untuk menyampaikan persoalan-persoalan disekitarnya, baik sosial, politik, atau apapun. Singkat kata, bagi Bayak, kesenian adalah media berkomunikasi. Pernyataan ini didukung dengan salah satu karya stikernya yang bertulisan art is weapon. Sayapun berpikir keras, apakah seni itu katarsis atau alat berkomunikasi yang kuat? Atau, jangan-jangan yang ingin disampaikannya, melalui keseluruhan pameran ini, adalah seni adalah alat untuk mengomunikasikan kepuasan diri?

DSC_0029

Kesan pemuasan diri sendiri tersiarkan dengan kuat saat saya lanjut mengelilingi ruang pamer yang bersejarah dalam seni rupa kontemporer Bali ini. Ada sebuah karya dengan tajuk Made in China Toy I yang dinyatakannya sebagai readymade. Kata readymade langsung membawa ingatan saya kepada Duchamp, seniman konseptual yang membawa urinoir ke dalam galeri sebagai sebuah karya instalasi. Namun, alangkah berbedanya posisi readymade dalam pameran ini. Benda yang diberi judul dan dipajang diatas base ini adalah sebuah ban berenang anak-anak. Disebelahnya ada sebuah karya dua dimensi, diatas kanvas, yang menggambarkan kembali mainan tersebut. Judul lukisan ini adalah Made in China Toy II.

Apa yang disampaikannya melalui kedua karya ini? Menurut saya, sang seniman ingin memamerkan keasyikannya bermain dalam membuat karya. Terbersit dalam pikiran saya, betapa mudahnya menjadi seniman sekarang ini. Temuan benda apapun yang menarik atau dalam bahasa gaul “lucu banget!”, tinggal diberi judul, di-display dengan baik, maka jadilah ia sebuah karya seni. Tak perlu dasar pemikiran apapun. Sangat berkebalikan dengan Duchamp yang menandatangani urinoir-nya sebagai humor satir bahwa eksistensi seniman lebih penting dari karyanya.

DSC_0037

Melangkah lebih lanjut, saya saya menemukan sederetan objek yang ditaruh di dalam sebuah toples kaca. Masing-masing toples ini dipasangi lampu pada tutupnya. Sungguh karya-karya yang menarik. Apalagi objek-objeknya yang mengingatkan saya pada keisengan sejumlah teman seniman di Yogyakarta yang di waktu senggangnya bermain-main dengan barang-barang temuan dari antah berantah. Kali ini, bukan ketidakbaruan ide dan eksekusinya yang mengganggu saya. Sikap sang seniman yang menaruh karyanya dalam toples kaca berlampu ini, menurut saya, merepresentasikan ketidakpedulian akan karyanya sendiri, karena toples-toples kaca itu bertutupkan plastik. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada objek-objek didalamnya setelah lampu karyanya menyala dari 11 sampai 31 Oktober, selama pamerannya berlangsung.

DSC_0035

Menarik bagaimana inkonsistensi terus muncul dalam sikap, pernyataan, dan perilaku terhadap karya seniman muda ini. Hal yang akhirnya menarik ingatan saya pada sebuah gerakan seniman muda di Bali yang menyatakan pertentangan hegemoni Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Sebuah tindakan heroik yang tak berdasar, menurut saya, karena SDI adalah kelompok seni rupa yang terbentuk atas dasar primordialisme dan semangat zaman. Eksistensinya sekarang sudah bukan dengan semangat yang sama ketika dicetuskannya. Sehingga, hegemoni bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan posisi SDI dalam seni rupa Bali sekarang.

Sungguh menarik melihat salah satu anggota kelompok penentang hegemoni SDI ini berpameran di Sika Gallery yang notabene diciptakan, pada 1996, sebagai ruang pamer alternatif oleh salah satu anggota SDI, I Wayan Sika. Ya, fenomena ini memang tidak bisa dikotakkan kedalam pemikiran Baudrillard. Apolitis memang sebuah sebuah sikap politis; ketiadaan segala sesuatu juga bisa menjadi sesuatu yang baru. Namun, perihal Art for Artist Sake, inkonsistensi tidak menjadi sebentuk konsistensi baru.

Penulis adalah mahasiswa Pengkajian Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: