Selama ini, karya-karya SIMPONI selalu menarik perhatian saya. Bisa jadi karena saya perempuan, muda, dan suka berbagai macam perintilan. Pameran kolektif mereka sebelum ini, Judge the Girl by Her Bag, adalah titik berangkat saya memerhatikan karya-karya mereka. Pameran di Via-via Café 2007 lalu memang bukan pameran karya-karya yang –oleh para akademisi dan intelektual– dikatakan seni murni. Kelompok yang namanya merupakan akronim dari Sindikat Monster Poni ini memamerkan tas-tas buatan mereka.
Tas-tas mereka dibuat dari bahan-bahan yang diolah kembali. Mulai dari baju-baju bekas dari obal-abul (istilah untuk toko pakaian secondhand di Yogyakarta), kancing-kancing, berbagai macam jenis kain, sampai sulaman. SIMPONI mengolah kembali barang-barang yang mereka sukai menjadi sebuah karya seni. Mereka bukan disainer pakaian atau produk. SIMPONI terdiri dari empat perempuan muda: Dian, Elia, Gintani, dan Yuvita. Keempatnya adalah mahasiswa ISI Yogyakarta dengan jurusan yang berbeda-beda; Dian dan Elia dari disain interior, Gintani dari seni grafis, dan Yuvita dari kriya tekstil. Perbedaan ini justru saling memperkuat satu sama lainnya.
Dalam berkarya, Dian dan Elia lebih sering mengolah obal-abul menjadi barang-barang fungsional, seperti sofa, tas, dompet, dan tempat pensil. Sementara, berangkat dari dasar ketertarikan yang sama (obal-abul) Yuvita dan Gintani lebih sering berkarya dalam bentuk-bentuk nonfungsional. Yuvita dengan sulamannya dan Gintani dengan karya-karya grafisnya. Supaya Anda tidak heran, saya memisahkan masalah fungsionalitas karena, menurut saya, perihal ini yang menjadi kegelisahan SIMPONI dalam berpameran bersama untuk kedua kalinya ini.
Dalam obrolan-obrolan awal kami (SIMPONI dan saya), saya menangkap keinginan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka bisa membuat karya-karya yang nonfungsional, misalnya karya dua dimensi. Alasannya semudah mereka mengganggap karya-karya fungsional, seperti tas, kaos, atau benda berguna apapun, bukanlah artwork (karya seni). Saya bingung. Saya yang bingung, bukan mereka! Menurut saya, artwork adalah benda apapun yang dibuat dengan tendensi berkarya. Segampang itu. Jangan salah sangka. Yang gampang sama sekali bukan gampangan. Masih banyak aspek penting lainnya dalam sebuah karya seni. Yang pasti, yang membedakannya dengan benda-benda lainnya adalah tendensi pembuatnya. Nah, kembali ke obrolan kami, saya akhirnya menyimpulkan bahwa dalam pameran kali ini mereka mau membuat karya-karya nonfungsional. Baik, pikir saya, selama semuanya jujur dan tidak mengada-ada.
Dalam sebuah karya, kejujuran adalah nilai yang penting –menurut saya. Sepertinya, saya memang menyebalkan bagi SIMPONI. Mereka yang mau berpameran, saya yang sibuk. Sibuk dengan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa dilihat secara pandangan mata di ruang pamer. Bagaimana akhirnya bentuk kejujuran itu memang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Namun, kejujuran bisa dirasakan ketika saya (dan, mungkin, juga Anda) melihat sang karya. Kejujuran, yang pasti, tidak selalu berarti membiacarakan diri sendiri. Bisa jadi bentuknya segampang tidak memaksakan membuat apa yang tidak disukai. Tidak suka berarti sulit untuk memahami. Sehingga, ketika yang dikerjakan adalah sesuatu yang tidak dipahami, pesan yang ingin disampaikan menjadi tidak kuat. Bagaimana Anda bisa memperkenalkan seseorang yang tidak Anda kenal kepada orang lain? Apalagi menceritakan tentang orang yang tidak Anda kenal itu kepada orang lain.
Saya mengenali SIMPONI sebagai perempuan-perempuan muda yang unik dan serba-ribet-dengan-perintilan. Awalnya, mereka menentukan sebuah tema, fabric (kain atau bahan kain). Menurut mereka, fabric itu SIMPONI banget! Saya setuju. Namun, melalui beberapa obrolan akhirnya saya berpendapat bahwa fashion dengan titik berangkat obal-abul lebih SIMPONI banget daripada si fabric itu sendiri. Saya melihat kegemaran mereka terhadap obal-abul sebagai sebuah dasar pemikiran.
Benda-benda yang ditemukan di obal-abul hampir tidak bisa dicari di tempat lainnya. Hampir tidak ada dua pakaian yang sama di seluruh penjuru obal-abul. Sehingga, segala sesuatu yang ditemukan di sana menjadi unik. Coba Anda bayangkan: Pakaian yang sudah unik itu masih saja dipermak! Entah diperkecil, diperbesar, dipotong-potong dan dijahit kembali, ditambahkan pernak-pernik yang ditemukan –juga– dari obal-abul. Yang menarik dari semua keribetanmereka terhadap obal-abul adalah mereka melakukannya dengan senang hati. Sehingga, hasilnyapun menyenangkan.
Ketertarikan mereka terhadap obal-abul dan segala hal yang terkait dengannya kali ini diekspos dengan cara yang berbeda. Secara tematis, mereka berangkat dari titik yang sama: Ketertarikan mereka pada obal-abul. Hasil akhirnya, karya-karya yang Anda lihat dalam ruang pamer Kedai Kebun Forum ini, jelas berbeda per orangnya. Anda bisa melihat Elia dan kegemarannya terhadap sepatu yang digambarkannya kembali dengan kolase kain koleksinya. Dian dengan perhatiannya terhadap label, benda yang seringkali diabaikan, yang dikemasnya lagi menjadi sesuatu yang mau-tidak-mau Anda akan melihatnya, bahkan menggunakannya. Ketelatenan dan kesukaan Yuvita terhadap kain dan berbagai jenis jahitan yang digunakannya untuk mengilustrasikan intrik-intrik dalam keseharian perempuan muda, isu yang dipandangnya menarik dalam kehidupan. Sekilas pandang, Gintani memang berbeda. Ia dan kemampuan grafisnya membicarakan soal SIMPONI.
Gintani memang sosok yang paling menonjol dari SIMPONI. Ia selalu aktif dalam berbagai kegiatan. Saya melihat Gintani sebagai orang yang selalu mau menyenangkan orang lain. Akhirnya memang –sedikit-banyak– menyusahkan dirinya sendiri. Namun, begitulah Gintani –menurut saya. Karyanya kali ini membicarakan soal SIMPONI. Gintani menceritakan kegenitan, kecentilan, keanggunan, kesukaan mereka ‘bergosip’ bersama, dan perihal hubungan antar-anggota SIMPONI. Ketika yang lainnya sibuk membahas ketertarikan masing-masing, Gintani membicarakan ketertarikannya kepada SIMPONI, sekelompok sahabatnya dalam keseharian dan, juga, dalam berkarya.
Keseharian para perempuan muda ini juga diilustrasikan Yuvita dengan menarik. Perihal remeh-temeh yang dialami sehari-hari seringkali terlupakan dan seringkali dianggap pamrih. Seakan sudah seharusnya perihal itu terjadi dalam kehidupan. Yuvita adalah seseorang, menurut saya, paling kalem diantara keempat sahabat itu. Ia, yang sangat ulet dengan sulamannya, mantap dalam segala langkahnya. Posisinya seringkali bagaikan ‘ibu’. Yuvita memang paling tertib diantara mereka, sehingga ia yang sering mengingatkan keempat sahabatnya akan detil-detil penting yang sering terlupakan.
Berbicara tentang detil –dan yang sering terlupakan–, coba tilik karya Dian. Ia membicarakan ketertarikannya pada label, benda kecil yang sering dilupakan, walau, secara kontradiktif, sering juga lebih diperhatikan. Ketertarikannya kepada label dimulai dengan keheranannya melihat nama-nama negara yang tertera diatasnya. Dian dan temanya kali ini memang secara visual paling setia dengan obal-abul. Awalnya, SIMPONI tidak setuju dengan hasil akhir tas yang dipilih Dian. Namun Dian bersikeras. Menurut saya, kali ini kekeraskepalaannya perlu. Dian, awalnya, adalah yang paling ragu dengan bentuk akhir karyanya. Dian yang saya kenal memang pada pandangan pertama terlihat malu-malu. Saya pikir akan sulit bagi Anda (dan, juga, saya) untuk mengerti apa yang berusaha disampaikan Dian melalui karyanya apabila Dian sendiri tidak nyaman membuatnya. Ragu-untuk-Yakin, demikian seorang pemikir pernah berkata. Walau terdengar klise, saya masih percaya itu.
Menurut saya, hal-hal klise menjadi menyebalkan karena hal-hal benar adanya. Misalnya, jujur itu mujur. Walau terdengar ‘menyebalkan’ dan membosankan, susah bukan menolaknya? Sosok Elia, menurut saya, tampil jujur. Ia bisa dengan mudahnya ceplas-ceplos apa yang ada dalam kepalanya. Tentu efeknya seringkali mengagetkan yang tidak sependapat. Namun, jelas lebih baik dalam jangka panjang. Dalam karyanya kali ini, Elia berbicara tentang sepatu. Elemen fashion yang paling menarik baginya. Ia menggambarkan sepatu menggunakan berbagai jenis kain dan kain yang diolah lebih lanjut, baik menjadi kancing, atau dijahitkan. Elia memang memiliki ketertarikan pada kancing. Menurutnya, kancing dapat merubah penampilan apabila diperlakukan dengan tepat, baik secara fungsional ataupun dekoratif semata.
Menarik melihat bagaimana keempat perempuan muda ini membicarakan ketertarikan mereka secara berlapis-lapis. Pameran bertajuk Interests are Invests! ini memang menyajikan berbagai ketertarikan SIMPONI, baik secara kelompok, maupun secara individu. Pameran ini memang pameran bersama sekaligus pameran kelompok. Secara visual, yang ditawarkan adalah karya-karya empat seniman muda yang membicarakan soal ketertarikan mereka menggunakan media-media yang juga menarik bagi mereka. Apabila Anda cukup iseng untuk menilik lebih lanjut, Anda bisa menemukan menariknya lika-liku hubungan keempat perempuan ini sebagai sahabat dan sebagai kelompok.
Masih sekilas pandang, Anda akan menemukan ruang pamer Kedai Kebun Forum dipenuhi lampion-lampion karya SIMPONI. Lampion-lampion yang dibuat dari koleksi rok mereka sendiri ini memenuhi, sekaligus menghias, ruangan. Saya tidak melihatnya sebagai dekorasi semata. Lampion-lampion itu, apabila Anda mau meniliknya lebih lanjut, justru menyatakan posisi SIMPONI dalam kehidupan masing-masing anggotanya. SIMPONI, menurut saya, berusaha menyatakan bahwa mereka, secara kelompok, saling memenuhi dan saling menghiasi kehidupan masing-masing.
Kalau Anda pikir saya sentimentil dengan menuliskan semua ini, saya akan dengan jujurnya mengaku: Ya, saya sentimentil. Saya suka apa yang mereka kerjakan. Dengan tajuk Interests are Invests!, mereka menyatakan bahwa mereka melakukan hal-hal mereka sukai dan perihal itu merupakan investasi besar dalam kehidupan mereka. Pernyataan mereka, menurut saya, juga merupakan ajakan. Ajakan bagi saya dan Anda untuk juga melakukan hal-hal yang disukai. Menurut saya, ini ajakan yang sangat menggoda untuk lebih menikmati hidup! Bagaimana dengan Anda?