Kentut, masalah, dan kebohongan

Kentut itu sebuah dilema yang paradoksal. Kalau ditahan jadi penyakit, kalau dikeluarkan begitu saja menimbulkan dilema baru. Demikian kemungkinan masalah yang muncul karena kentut: (1) bunyi, sehingga seluruh dunia akan menertawakan, melirik biasa, melirik sinis, atau malah menghardik; (2) bunyi dan bau, sehingga semua respon tadi bisa jadi dua kali lipat; (3) bau tetapi tidak bunyi, yang Anda bisa saja tidak mengaku, tetapi kemudian semua orang akan saling menuduh dan keadaan menjadi keruh.

Seorang teman dari Kepulauan Kei, Maluku, pernah bilang bahwa masalah dalam kehidupan itu ibarat kentut. “Ditahan jadi penyakit, dikeluarin semua ribut! Kalau aku, sih, angkat tangan aja, diketawain sebentar, abis itu semua beres,” demikian jelas Lawalata J., salah satu fasilitator Yayasan SIRaN yang turut berpartisipasi dalam Indonesian Youth Media Camp 2008. Saya tertawa mendengarnya. Analogi yang satir, namun (sangat) tepat.

Masalah ada dimana-mana. Segala sesuatu bisa menjadi masalah. Segala sesuatu juga bisa tidak menjadi masalah. Tergantung bagaimana melihatnya saja. Seorang teman pernah menolak pernyataan itu. Namun, saya bersikeras. Begini analogi saya: Ada sebuah (korek) Zippo di atas meja segi empat. Si A yang duduk di sisi utara meja bertanya “Apa, sih, ini?”. “Payah, itu Zippo!” sahut si B dari sebelah Barat meja. “Eh, ini oleh-oleh dari si X waktu ke Singapura, lho. Keren, ya!” sahut si C, pemiliknya, dari sebelah timur meja. Tiba-tiba, si D dengan cueknya meraih Zippo itu sambil terus bercakap-cakap di ponselnya. “Eh, korek siapa nih, pinjem bentar, ya!” ujarnya, tak menunggu jawaban, seraya meraih Zippo dan menyulut rokoknya. Brak… Zippo jatuh. Si D memungutnya dan menaruhnya sembarangan di atas meja tanpa perasaan bersalah. Sebuah benda berkemampuan menyalakan api kecil itu dilihat (dan dinilai) sebagai empat hal yang berbeda oleh empat orang dalam satu meja.

Si A tidak tahu benda apa yang dilihatnya; si B melihatnya sebagai Zippo; si C melihatnya sebagai oleh-oleh dari Singapura; dan si D hanya melihatnya sebagai sebuah korek. Benda itu bermakna ketika ada yang memaknainya. Benda itu ada, namun, tanpa ada yang memaknai, benda itu sama saja dengan tidak ada. Kembali ke persoalan masalah; segala sesuatu menjadi masalah hanya ketika saya (atau Anda) melihatnya sebagai masalah, demikian juga sebaliknya. Saya percaya semuanya hanya perihal pilihan cara pandang saja. Selain menjadi masalah atau tidaknya suatu (atau segala) hal, cara pandang juga pilihan.

Ketika sesuatu dipilih untuk dipandang sebagai sebuah masalah, tentu harus diselesaikan. Nah, bagaimana cara gampang untuk menyelesaikan masalah? Cara gampang menghadapi segala hal sudah tersedia. Dalam dunia perkomputeranpun ada banyak cara gampang, seperti ctrl+c untuk mengopi, ctrl+v untuk menyalin, atau alt+F4 untuk mematikan program.

Seperti kata-kata klasik para orang tua, jujur itu mujur. Bagi Anda yang religius, bohong itu dosa. Walau dosa tidak dapat diukur secara ilmiah dan tidak resmi secara hukum, rasanya sah kalau saya mengatakan siapapun tahu apa dosa itu. Bagi Anda yang metaforis dan alegoris, kembalilah ke analogi kentut (di atas). Bagi Anda yang pragmatis, —sst, ini katanya alasan para orang tua mengatakan bahwa jujur itu mujur– jujur mempercepat langkah Anda pindah ke urusan selanjutnya. Bagi Anda yang fungsionalis, kejujuran yang menyelesaikan sesegera mungkin ini jelas membuat Anda mempunyai lebih banyak ruang dan waktu untuk berbuat hal lain.

Cara gampang, memang tidak gampang dilakukan, karena cara gampang sama sekali bukan cari gampang. Cari gampang dalam analogi kentut bau adalah dilakukan pelan-pelan –psssst…–, sehingga seluruh ruangan tak tahu siapa tersangkanya. Ketika semua orang mulai saling menuduh atau berprasangka, si tersangka turut menunjukkan jarinya ke orang lain. Keadaan semakin rusuh, semua saling menuduh, kemudian pulang dengan prasangka.

Sementara, cara gampangnya adalah melangkah keluar ruangan, dikeluarkan –brooot…–, kemudian semua orang berisik atau kebauan sebentar, lalu selesai. Pembicaraanpun berlanjut. Begitu juga dengan masalah; mengaku, meminta maaf, menghadapi konsekuensi langsung, jelas tak gampang. Namun, dengan itu, hidup menjadi lebih gampang. Tak perlu capai-capai menutupi kebohongan, tak perlu repot-repot mendengarkan semua orang saling tuding dan saling menyalahkan, dan hal-hal yang lebih esensial bisa dengan segera dituntaskan kemudian.

Mereka yang berbohong untuk menyelesaikan buru-buru masalah adalah manusia-manusia yang cari gampang. Sama seperti mereka yang mengeluarkan kentut yang bau dan tidak mengaku. Atau, misalnya dalam dunia perkomputeran, sudah mengopi dan menyalin, tidak mau juga memberitahukan darimana asalnya. Kemiripan antara cara gampang dan cari gampang seringkali membuat orang lupa akan efek besar dari perbedaan tipis itu.

Rasanya, yang sulit adalah memberikan tips dan trik bagi mereka yang bebal. Mereka yang cari gampang dalam menyelesaikan masalah. Wah, susah kalau harus berusaha mengubah mereka! Saya tidak percaya pada agen perubahan. Dan, kalaupun ada, pastilah bukan saya orangnya. Sehingga, akhirnya, saya hanya bisa terkagum-kagum –sekaligus prihatin– dengan mereka yang cari gampang dengan berbohong untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin.

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: