1. Pengantar
Sebuah ulasan mengatakan bahwa film ini lebih pantas berjudul “Perempuan Punya Derita” karena penderitaan tanpa-akhir yang dialami hampir semua tokoh perempuan didalamnya.[1] Situs perfilman Indonesia RumahFilm.org, bahkan, meresensi film ini dengan judul Para Perempuan Malang.[2] Padahal, omnibus film Perempuan Punya Cerita (PPC) ini disutradarai oleh empat perempuan: Fatimah T. Rony, Upi Avianto, Nia Dinata, dan Lasja Fauzia Susatyo; ditulis oleh: Vivian Idris dan Melissa Karim; dan diproduseri oleh Nia Dinata.[3]
Para filmmaker perempuan ini, menurut saya, malah menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang lemah, kasihan, menderita, dan malang dalam masing-masing film. Saya menemukan cukup banyak tulisan yang menyorot penderitaan tokoh perempuan dalam omnibus film produksi Kalyana Shira ini. Padahal, keempat film pendek ini dinyatakan oleh produser dan para sutradaranya sebagai film dari, oleh, dan untuk perempuan –inilah kenapa saya menggunakan frase ‘film perempuan’ dalam judul tulisan saya.[4] Film ini terlanjur mempunyai beban sebagai ‘pernyataan sosial’ apabila dilihat semua materi publikasinya (poster, kaos panitia, dan sejumlah pernyataan yang dimuat media massa). Salah satu ulasan mengenai film ini mengatakan bahwa isu yang ‘terlanjur dibebaninya’ adalah mengenai ‘perempuan yang berdaya’.[5]
2. Metode dan Rujukan Pemikiran: Dominasi Maskulin Bourdieu, Dekonstruksi Derrida, dan Death of the Author Barthes
Mengetahui adanya sekelompok laki-laki yang bersekutu untuk meminta Mentri Urusan Laki-laki di India[6], saya tertarik menuliskan penindasan yang terjadi pada laki-laki, walau hanya terjadi dalam film. Alasannya sepele. Pertama, cobalah Anda tulis ‘kajian jender’ sebagai kata kunci pencarian dalam Google, dalam 0,22 detik Anda akan menemukan sekitar 103,000 hasil pencarian.[7] Sampai halaman ke-10 dari penemuan tersebut, saya belum menemukan tulisan tentang ‘penomorduaan’ laki-laki, mulai dari esai ilmiah, jurnal, artikel, sampai ke tulisan-tulisan dalam sejumlah situs pribadi. Padahal situs-situs pribadi ini adalah sebuah ruang dimana pemiliknya bebas menyuarakan hal-hal yang ‘menyimpang’. Apakah berarti laki-laki tidak ada yang tertindas (atau ditindas)? Apakah hanya perempuan yang merasa dimarjinalisasi? Saya rasa tidak.
Merujuk kepada dominasi maskulin Bourdieu, laki-laki sebenarnya tidak seberuntung kelihatannya. Bourdieu melihat dominasi maskulin seperti koin, mempunyai dua sisi. Sisi pertama dari koin tersebut adalah privilese, untuk berbagai macam hal dan posisi, dan sisi keduanya adalah jebakan, karena keterikatannya dengan pemahaman-pemahaman maskulinitas yang ada. Dalam Masculine Domination, Bourdieu menggunakan sejumlah konsep-konsepnya yang mendukung ke pemahaman mengenai dominasi maskulinnya: habitus dan doksa.[8]
Roland Barthes, dalam artikelnya di jurnal Aspen, mengatakan bahwa the author is dead. Pengertian pembaca terhadap karya, itulah yang penting. The birth of the reader, demikian tutup Roland Barthes dalam artikelnya.[9] Saya pun menganut kepercayaan ini. Namun, ketertarikan saya menganalisis PPC memang karena filmmaker-nya (atau scriptor-nya –meminjam terminologi Roland Barthes) perempuan: bagaimana mereka menciptakan laki-laki dalam ‘dunia’ mereka. Apabila memosisikan diri sebagai new-born reader, para laki-laki-dalam-film dibaca sebagai teks, mereka tetap dapat dikategorikan tidak berguna, bahkan memperburuk situasi dan kondisi para perempuan yang diceritakan. Ketidakbergunaan para laki-laki-dalam-film inilah yang akan saya analisis dalam tulisan ini, berkebalikan dengan sejumlah tulisan yang sudah beredar dan diskusi yang pernah dilaksanakan.
Saat para platonis percaya bahwa esensi lebih penting dari eksistensi, Derrida mengatakan sebaliknya (seperti juga Sartre dan eksistensialismenya).[10] Dekonstruksi menggoyahkan segala konsep kemapanan, membuatnya menjadi tidak mapan, dan mengembalikannya sebagai sebuah konsep baru.[11] Merujuk kepada pemikiran Derrida, saya merasa perspektif yang seringkali digunakan dalam pengajian jender perlu diubah. Setidaknya, dalam menganalisis PPC.
Pilihan perspektif saya memang berbeda dengan sejumlah kritik yang sudah beredar atas film PPC ini. Banyaknya tulisan yang sudah menjabarkan penderitaan para perempuan-dalam-film PPC, membuat saya tertarik untuk melihat dari perspektif lain. Saya, kemudian, tertarik dengan karakter laki-laki[12] dalam PPC ini. Mengapa? Karena, laki-laki-dalam-film ini diciptakan oleh perempuan. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, penulis naskahnya adalah perempuan, Vivian dan Melissa. Maka, penulis naskah film menjadi krusial posisinya, karena naskah yang buruk tidak akan pernah bisa menghasilkan film yang baik.[13] Penulis naskah, menurut saya, adalah ‘Tuhan’ dalam film yang ditulisnya. Film itu sendiri adalah sebuah dunia yang diciptakannya. Vivian ‘menuhani’ dua film: Cerita Yogyakarta dan Cerita dari Pulau; sementara kedua film lainnya, Cerita dari Cibinong dan Cerita Jakarta, ‘Tuhan’nya adalah Melissa Karim. Kedua penulis naskah ini menciptakan dan memosisikan karakter laki-lakinya dengan cara, bentuk, dan porsi yang berbeda.
Saya melihat ketidakbergunaan laki-laki-dalam-film ini sebagai bentuk penindasan para filmmaker-nya. Laki-laki-dalam-film PPC dengan semua detil gerak, lagak, dan cakapnya adalah hasil penciptaan kedua penulis naskahnya. Atas alasan inilah saya mengatakan film ini menindas laki-laki. Karakter laki-laki yang diciptakan para filmmaker-nya hampir semua tidak berguna dalam tatanan tertentu. Para laki-laki-dalam-film ini bukannya digambarkan tidak (atau kurang) maskulin, namun, yang lucu adalah bagaimana mereka, selain tidak berguna, menjadi sumber masalah atau hanya ‘figuran’ dalam hidup para perempuannya. Ketidakbergunaan laki-laki-dalam-film ini bahkan terjadi pada mereka yang protagonis atau yang (katakanlah) ‘baik’.
3. Analisis Representasi Karakter Laki-laki Tertindas dalam Keempat Film Pendek Perempuan Punya Cerita
Cerita dari Pulau
Ahmad Rokim (Arswendy Nasution) pada Cerita dari Pulau, karya Fatimah T. Rony, adalah seorang suami yang tidak digambarkan memiliki pekerjaan tetap –sementara istrinya adalah sosok penting karena berprofesi sebagai (satu-satunya) bidan di pulau tempat mereka tinggal. Film ini mengarahkan pemahaman penonton kepada keberadaan Rokim dan Sumantri (Rieke Diah Pitaloka) di salah satu pulau terpencil di Kepulauan Seribu itu dikarenakan pekerjaan sang istri. Kebaikan Rokim, yang direpresentasikan melalui pembawaannya, adalah ‘kebaikan ideal’ yang diinginkan perempuan pada sosok suami.[14] Bentuk kepedulian Rokim yang besar kepada Sumantri digambarkan dengan ngototnya ia mencari informasi mengenai penyakit yang diderita istrinya. Walau setelah tahupun ia menerima istrinya apa adanya, Rokim, yang juga tahu istrinya mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati, tetap mengajak Sumantri kembali ke Jakarta dengan mengatasnamakan kemudahan akses pengobatan penyakit Sumantri. Ditengah cerita, laki-laki yang digambarkan sebagai suami penyayang istri ini memutuskan untuk menjual rumah tanpa berdiskusi dengan istrinya. Konflik dalam film semakin memanas ketika si suami ‘ideal’ ini ternyata memutuskan untuk memukuli tanpa ampun sejumlah laki-laki yang ditemukannya sebagai pemerkosa Wulan (Rachel Maryam), anak tetangganya.
Ada dua tokoh yang digambarkan sebagai pemerkosa Wulan, perempuan penderita kelainan mental yang sangat disayangi Sumantri. Nanda (Ferry Ardian) dan Tommy (Edo Borne Putra) adalah dua pemuda asal Jakarta yang statusnya berlibur di pulau ini. Eric Sasono, dalam resensinya di RumahFilm.org, menuliskan bahwa mereka seakan-akan ada disana hanya untuk memerkosa Wulan. Kesimpulan itu, menurut saya, timbul karena sejak penampilan pertama –saat turun kapal–, kedua tokoh ini digambarkan langsung menggoda Wulan. Kemunculan kedua mereka adalah adegan nongkrong bersama salah satu pemuda penghuni pulau, Hasan (Iwan Bango), dengan tujuan menunggu Wulan lewat. Masih dalam adegan nongkrong, mereka menyusun strategi untuk memancing perhatian Wulan untuk, akhirnya, diperkosa. Kemudian setelah berhasil memerkosa, mereka menertawakan ke’istimewa’an Wulan. “… makin dia meronta-ronta, gua makin nafsu, men!” ujar Tommy yang kontan disusul oleh gelak tawa Nanda dan Hasan.[15]
Nah, Hasan adalah si pemuda yang nongkrong bersama kedua turis tadi. Ia turut dipukuli pada saat Rokim mendengar pembicaraan mereka mengenai pemerkosaan Wulan. Sebagai pemuda asli pulau, ia digambarkan tidak peduli lingkungan dan masyarakat sekitar dengan memberikan sejumlah tips untuk menarik perhatian Wulan, yang tertarik pada cahaya –dan akhirnya memang dengan cahayalah mereka memancing Wulan. Hasan kemudian dijadikan kambing hitam oleh Tommy dan Nanda. Ialah yang ditangkap sebagai pemerkosa Wulan –sementara Tommy dan Nanda melenggang bebas– oleh serombongan warga yang kemudian berarak ke rumah Wulan.
Rombongan ini isinya adalah Tommy; Nanda; Pak Lurah (Syamsul Hadi) yang sama sekali tidak membela Wulan, warganya, dan, malah, mendukung perdamaian-dengan-uang; Pak Ipul (Syaiful) yang, mungkin karena uangnya, disegani di pulau ini dan, memang, bergestur semena-mena; dan beberapa laki-laki sebagai warga (setempat) yang malah memihak kepada Tommy dan Nanda. Cara Pak Lurah dan Pak Ipul menghadapi keluarga Wulan adalah dengan menyuruh Tommy memberikannya uang damai.
Selain serombongan laki-laki tidak berperasaan itu, masih ada satu tokoh (figuran) lagi dalam film ini, yang tidak kurang ‘ketidakpentingannya’, yaitu Pak Polisi (Miftah). Kepadanyalah Sumantri melaporkan pemerkosaan Wulan. Respon yang didapatkan Sumantri adalah penolakan atas laporan tersebut dengan alasan Wulan tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pihak kepolisian. Kenyataan bahwa Wulan adalah penderita kelainan mental diabaikan Pak Polisi. Selain tidak menghiraukan laporan pemerkosaan Wulan, salah satu aparat pemerintah yang berslogan “Pelindung, Pengayom, dan Pelayan Masyarakat” ini malah mengancam Sumantri.
Cerita Yogyakarta
“Heh! Awas kalau berani buka mulut! … bilang-bilang! Tak’ bunuh!” ancam Jarwo (Achmadi) pada Tejo (Cia Partawinata), teman laki-lakinya yang sering dimaki ‘banci’. Bagi saya, telalu berlebihan mendengar Jarwo dengan entengnya mengatakan kepada Jay Anwar (Fauzi Baadila) bahwa ia dan teman-temannya sudah berhubungan seks secara aktif sejak duduk di bangku SMP. Pernyataan Jarwo ini mengakibatkan ia ditertawai ‘geng’nya karena ia tidak pernah dilihat bersama perempuan. Ia, yang sepanjang film tidak pernah disebutkan namanya, tidak tahu bahwa Jay pernah (dengan tidak sengaja) melihat skandalnya dengan Tejo.[16] Adegan ‘skandal’ yang hanya sekian detik ini menggambarkan kontroversi karakter Jarwo, karena pengancaman Tejo ini berlangsung saat ia sedang menghisap kemaluan Jarwo. Tentunya, ini menjadi salah satu dari sekian banyak adegan yang dipotong oleh Lembaga Sensor Film untuk versi bioskop Cerita Yogyakarta, karya Upi Avianto. Jarwo adalah salah satu anggota ‘geng’ murid laki-laki SMAN 69 yang banal dan binal.[17] Dalam kelas, bersama kelompoknya, ia menertawai guru yang mengajarkan sistem reproduksi perempuan, mengatakan teori yang diajarkan sudah ketinggalan zaman kepada gurunya. Salah satu teman Jarwo menyatakan “… wong kita praktiknya udah lebih maju, ya ndak?!”
Kalimat itu keluar dari mulut Dimas (Kukuh Adirizky), pelajar SMA dengan tampang yang kontradiktif, antara nakal dan ‘anak mami’. Pemilik rumah tempat teman-teman seangkatannya nongkrong ini merelakan kamarnya untuk digunakan berhubungan seks oleh semua temannya (secara bergantian dengan pasangan masing-masing). Menurut saya, hal itu dilakukannya supaya ia disenangi teman-temannya. Dimas juga digambarkan manut terhadap ibunya dengan selalu menyahut akan setiap sapaan basa-basi ibunya. Bahkan, suatu ketika ia sedang berhubungan seks dengan salah satu teman perempuannya, ia tetap menjawab ibunya dengan teriakan dari dalam kamar. Di lain kesempatan, ia memaki dan membodoh-bodohi ketiga temannya karena Rahma (Adithya Putri) –yang pernah mereka gilir– ternyata hamil.[18] Ia kemudian memutuskan bahwa cara menentukan siapa diantara mereka berempat yang harus bertanggungjawab menikahi Rahma adalah dengan mengundinya (dengan kertas kocokan seperti arisan). Sosok yang digambarkan sebagai ‘kepala geng’ ini juga digambarkan minim pengetahuan dalam ‘khazanah pornografi kontemporer’ dengan menyimpan video di telepon selulernya tanpa mengetahui apa (atau, lebih tepatnya, siapa) nama aktris film porno Jepang yang beberapa waktu lalu sempat populer –Miyabi.[19]
Bagas (Dyo Aleathea) adalah tokoh yang digambarkan paling ‘berwacana’ dalam ‘khazanah pornografi kontemporer’ dengan mengetahui asal-usul Miyabi dari Jepang, bukan Mandarin. Ia juga mengetahui cara menggugurkan kandungan, walaupun caranya kuno (menggunakan Sprite dan nanas muda) dan tidak ada jaminan keampuhannya. Anehnya, ia rela pacarnya, Rahma, digilir teman-temannya. Laki-laki ini digambarkan tidak berperasaan dengan hanya tersenyum, entah manis atau pahit –susah dijelaskan karena, menurut saya, tidak ada penokohan yang kuat dan konsisten dalam film ini–, pada saat menyelamati Rahma di hari perkawinannya dengan Yanto (Ariel Vanka K.).
Yanto, si pengantin laki-laki Rahma, adalah anggota terakhir ‘geng’ laki-laki SMAN 69 yang berwajah paling muda. Ia, yang dengan bangganya memamerkan bahwa telah berhasil memerawani gadis berseragam putih-biru, ternyata terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya dalam undian mereka mencari siapa yang ‘harus’ menikahi Rahma. Keputusannya –walau karena undian– untuk menikahi Rahma juga aneh mengingat ia mengaku tidak menyelesaikan hubungan seksnya dengan Rahma karena ibu Dimas sudah terlanjur pulang saat itu.[20] Ketika mendengar kepoloson Yanto mengatakan Miyabi berasal dari Mandarin, Anda, yang mengerti pornografi, akan langsung melupakan bahwa ternyata tumpukan dibawah DVD porno yang sibuk mereka pilih adalah CD Trio Macan dan Peterpan.
“Ada Miyabi nggak?” sela Jay di hadapan sekelompok anak SMA yang sedang memilah DVD porno itu. Tanpa membeli, ia langsung pergi. Mungkin hanya supaya terlihat jagoan di mata ‘geng’ berseragam putih abu-abu tadi saja, karena tanpa akhirnya membeli, iapun pergi. Tokoh utama laki-laki dalam film ini selalu (dan berulang-ulang kali) dengan bangga menyatakan ia berasal dari Jakarta. Jay digambarkan menjadi sosok laki-laki dewasa yang digemari para tokoh perempuan yang pada umumnya sama banalnya dengan yang laki-laki. Jay lebih sering bersama Safina (Kirana Larasati), selaku perempuan yang berbeda-dengan-teman-temannya-karena-masih-perawan. Akhirnya Safina menyerahkan keperawanannya kepada Jay, yang keesokan harinya pulang ke Jakarta dengan hanya mengatakan terima kasih dan mempunyai seorang kekasih di Jakarta (yang diperankan oleh Tiara).
Beberapa waktu kemudian murid-murid (dan, tentunya, guru-guru) SMAN 69 gempar melihat Koran Tumpas yang mengulas kehidupan seksual sekolah mereka. Penulisnya adalah Jay, yang ternyata seorang wartawan. Demikianlah ia digambarkan sebagai wartawan laki-laki yang tidak beretika karena selama perjalanannya di Yogyakarta, ia tidak pernah menyatakan posisinya sebagai penulis yang sedang meneliti. Selain itu, di awal film ini penonton disodorkan dengan kemungkinan Jay adalah mahasiswa yang baru datang ke Yogyakarta melalui pernyataan pemilik warung internet (warnet), diperankan oleh Arie Dagienk, “… oh, mahasiswa dari Jakarta, toh!”[21]
Film ini juga punya peran (figuran) yang tidak kalah ‘ketidakpentingannya’, seperti Cerita dari Pulau, yaitu si pemilik warnet yang selalu mengonsumsi hal-hal porno. Mulai dari koran merah (yang kalau tidak dipegang, minimal tampak di layar), buku stensil, sampai situs porno. Warnetnya ini digambarkan mempunyai bilik khusus untuk indehoy —meminjam istilah yang digunakan pemilik warnet dalam film ini untuk menawarkan fasilitas tersebut. Dengan alasan bisnis, pemiliknya tidak berkeberatan warnetnya dipakai untuk tempat masturbasi sambil mencari ‘literatur untuk memperluas wawasan’ pornografi para pelajar kota pelajar itu.
Cerita dari Cibinong
Melissa Karim, seperti Vivian Idris, juga mengisahkan tokoh ‘bencong’[22], walau hanya sekilas dan tidak memiliki peranan penting dari segi cerita. Dalam Cerita dari Cibinong karya Nia Dinata, tokoh ‘bencong’ hanya tampil sebagai figuran yang meramaikan (dan mungkin maksudnya membuat jadi lucu) adegan berkelahi di depan bar dangdut Merem Melek milik Jaja (Firza Achmar Paloh). Selain sebagai pemilik, Jaja juga digambarkan sebagai preman penguasa di daerah sekitar bar tersebut. Tidak jelas apakah Jaja adalah suami atau sekadar pasangan kumpul kebo Cicih (Sarah Sechan), penyanyi utama dalam Trio Dag Dig Duer yang populer di bar tersebut, namun yang pasti Jaja menjaga Cicih dengan baik. Ia juga, seperti halnya Rokim dalam Cerita dari Pulau, digambarkan sebagai laki-laki baik dan penyayang pasangannya. Ketika Mansur (Otto Satrya Djauhari) yang dinilainya mengancam keamanan Cicih muncul, Jaja menunjukkan kekuasaannya dengan berkata (setengah memaki) “Eh, lo! Ngapain lo disini lo?! Gua tau banget siape elo! … Macem-macem disini, gua awetin lo, ye!” Makiannya tidak berhasil menjaga Cicih, yang akhirnya kabur dengan laki-laki yang diancam Jaja tadi. Kegagalan kelaki-lakiannya dalam menjaga Cicih, kemudian tertutup dengan sikapnya yang tetap baik dan sopan kepada Esi (Shanty) dan anggota Trio Dag Dig Duer lainnya.
Mansur, yang mengaku berasal dari agensi yang mengorbitkan Vetty Vera (penyanyi dangdut populer), adalah tokoh laki-laki hidung belang yang pekerjaannya adalah mencari ‘korban’ di daerah-daerah terpencil. ‘Korban’nya tentu perempuan muda yang masih perawan, seperti yang ditegaskan oleh atasan Mansur yang dipanggilnya ‘Koh (Alditio Pradana).[23] Mereka kemudian dijual ke Taiwan dan Singapura. Mansur menjanjikan Cicih sebuah pekerjaan menyanyi di klub dangdut Belarosa, dengan syarat Cicih mau membawa Maesaroh (Ken Nala Amrytha) ke Jakarta. Tentu Mansur tak berkata apapun mengenai Maesaroh akan diperjualbelikan. Mansur mengatakan bahwa Maesaroh akan dipekerjakan di sebuah hotel berbintang lima dengan gaji yang sangat besar. Walau akhirnya Cicih mengetahui kebodohannya yang telah terperdaya Mansur, Maesaroh sudah terlanjur dinikahi pengusaha Taiwan. Cicihpun harus kabur dari cengkeraman Mansur yang menguncinya dalam area tempat tinggalnya.
Sekembalinya Cicih ke Cibinong, ia harus menghadapi Esi yang setengah mati menderita karena kehilangan Maesaroh, anaknya. Penderitaan yang jaraknya terlalu dekat dengan kenyataan ia baru saja meninggalkan Narto (Reka Wijaya) yang ditangkapbasahnya sedang menyuruh Maesaroh memuaskan birahinya. Narto yang memang bukan bapak kandung Maesaroh ini tidak diberikan karakter sama sekali. Ia hanya muncul sebagai laki-laki yang serumah dengan Esi (entah suami atau hanya tinggal bersama) tanpa latar belakang apa-apa. Yang dapat diketahui kemudian melalui pernyataan Maesaroh adalah bahwa ia tidak pernah berhubungan seks dengan Narto, hanya disuruh ‘isap-isap’.[24]
Selain Jaja, Mansur, Narto, dan Bun Liang, semua tokoh laki-laki lainnya hanyalah figuran semata. Si ‘bencong’ tadi, satpam, dan para pengunjung bar Merem Melek yang beringasan, selalu mabuk, suka menjamah para penyanyinya, dan dengan penuh amarah siap ‘meruntuhkan’ bar (pada saat para penyanyinya sedikit terlambat naik panggung). Lagi-lagi sekumpulan warga sekitar yang tidak punya kepentingan apa-apa selain menambah penggambaran kebodohan warga, terutama laki-laki, dalam setiap konflik dalam masing-masing film.
Cerita Jakarta
Untuk Cerita Jakarta, konfliknya sedikit berbeda. Cerita ini tidak melibatkan tokoh sebanyak di film-film lainnya dan tidak ada sekumpulan laki-laki bodoh yang diceritakannya. Hanya ada dua tokoh laki-laki yang digambarkan tertindas.
Pertama, Reno Sumardiprojo (Winky Wiryawan) yang tampil tidak sampai tiga menit tetapi merupakan penyebab malapetaka yang menimpa istrinya yang beretnis Cina, Laksmi (Susan Bachtiar). Dalam kemunculan sebentarnya, Reno diperlihatkan sebagai laki-laki dalam kubikal kamar mandi unisex yang sedang berhubungan seks dengan seorang perempuan tak dikenal (Nasta Sutardjo) sambil menyuntikkan obat-obatan terlarang sampai akhirnya meninggal (entah karena overdosis atau penyakit) –sayang pada saat harusnya ditunjukkan terkulai mati, perutnya masih terlihat bergerak tanda masih bernafas. Dengan pemunculan yang demikian, penonton dibawa ke pemahaman bahwa ia adalah pecandu obat-obatan terlarang dan laki-laki yang berhubungan seks dengan siapa saja yang ditemuinya dan mau. Akhirnya, (sebagian) penonton akan mengasumsikan bahwa ialah yang menyebabkan Laksmi juga menderita AIDS, karena Laksmi digambarkan sebagai perempuan dan ibu yang baik.
Sayang, mertua Laksmi, Ibu Sumardiprojo (Ratna Riantiarno) dan Bapak Sumardiprojo (Tarzan), malah akhirnya menyalahkan Laksmi atas kepergian Reno. Mereka menuduh Laksmi sebagai penular penyakit itu kepada anaknya. Sosok ayah Reno disini digambarkan sebagai tipikal ikatan-suami-takut-istri. Bapak Sumardiprojo menurut saja pada semua pendapat dan perilaku istrinya terhadapnya.
Selain kedua tokoh penting itu, yang cukup sering muncul adalah Sinshe Cen Lung (Henky Solaiman) sebagai tabib tradisional cina yang mengobati Laksmi. Ia digambarkan sebagai tabib yang baik, dengan tidak meminta uang pada saat melihat Laksmi datang dengan keadaan menyedihkan dan memberikan referensi tempat pengobatan gratis untuknya.
3. Penutup: Dominasi Maskulin Bourdieu dan Pengandai-andaian
Pada akhirnya, saya melihat bahwa tokoh laki-laki utama yang diciptakan penulis naskah dalam film-film pendek ini memiliki peranan ‘merusak’ kehidupan para tokoh perempuannya. Posisinya adalah: apabila tidak ada para laki-laki itu, tentu kehidupan tokoh perempuannya, yang memang sudah menyedihkan, akan lebih baik.
Dominasi maskulin adalah salah satu buah pemikiran Pierre Bourdieu. Dominasi maskulin merupakan salah satu contoh penting dari kekerasan simbolik –kekerasan yang hampir tidak terlihat, ‘baik’, dialamai sehari-hari dalam kehidupan sosial sehingga tidak lagi dirasakan sebagai sebuah kekerasan. Melalui konsep ini, Bourdieu menyatakan bahwa maskulinitas memiliki dua sisi yang saling terikat, bagaikan koin. Di satu sisi, maskulinitas adalah privilese, namun di sisi lainnya, ia merupakan sebuah jebakan (bagi laki-laki).[25] Seperti halnya dalam film PPC ini, laki-laki-dalam-film ini sebagian besar memenuhi standar maskulinitas pada awal penemuannya, yang dikatakan Wikipedia meliputi tujuh area yang dirumuskan Janet Saltzman Chafetz dalam Handbook of the Sociology of Gender (1974, 35-36).[26]
Walau tanpa semua tokoh laki-lakipun Sumantri tetap menderita kanker stadium tiga, coba bayangkan Cerita dari Pulau tanpa Rokim, suami yang merepresi keinginan Sumantri untuk tetap menjadi bidan di pulau itu? Ia tentu akan tetap bisa mengekspresikan kecintaannya terhadap Wulan, tetap menjaganya, tetap menjalankan apa yang diinginkannya, dan tidak membuat para perempuan penghuni pulau itu resah karena harus berhadapan dengan bidan baru. Atau, tanpa adanya Tommy, Nanda, dan Hasan? Wulan tentu tidak perlu punya pengalaman diperkosa dan aborsi. Atau dengan Pak Lurah dan polisi yang lebih baik? Tentu para pemerkosanya tak akan lolos atas nama uang. Apalagi kalau kesemua tokoh laki-laki itu tidak ada?
Cerita Yogyakarta tanpa Jay saja mungkin belum lengkap, perlu ketidakadaan semua tokoh laki-laki dalam film ini baru para perempuannya akan baik-baik saja. Tetapi, marilah mengecualikan film ini. Saya rasa keseluruhan tokoh film ini sudah terlalu bobrok untuk diandai-andaikan tidak ada salah satu tokohnya pun. Semua karakternya terlalu bermoral bobrok dan, untuk menganalisis lebih lanjut, kenyataan bahwa film ini tidak mampu menceritakan Yogyakarta dengan baik, membuat saya tidak dapat menganalisisnya dari perspektif jender.[27]
Bagaimana kalau Esi tidak perlu tinggal bersama Narto? Mungkin ia tidak perlu kabur dari rumah yang melindunginya bersama Maesaroh, kemudian tidak perlu tinggal di rumah Cicih. Tentu dengan demikian Maesaroh tidak berkesempatan bertemu Mansur, hingga akhirnya ia di jual. Bahkan, Cicih mungkin tidak akan menderita akibat ditipu Mansur di Jakarta, karena apabila tidak ada Maesaroh, yang lebih diinginkan Mansur karena faktor uang, toh, Mansur tidak akan membawa Cicih ke Jakarta.
Tanpa Reno, Laksmi, mungkin, tidak akan mengidap AIDS dan, yang pasti, tidak perlu berhadapan dengan kedua mertuanya. Maka tak perlulah film ini ada. Karakter-karakter laki-laki dalam film-film ini dibuat oleh untuk menindas karakter perempuannya.
Pengandai-andaian di atas memang tidak menyelesaikan masalah apapun. Saya hanya berusaha mengilustrasikan bagaimana laki-laki ditindas para filmmaker perempuan ini dengan ditokohkan sedemikian rupa. Apakah dengan menindas tokoh laki-laki yang mereka ciptakan kemudian mereka berhak menyatakan film ini tentang para perempuan yang berdaya? Saya rasa tidak. Saya malah malu, terutama apabila dengan (balik) menindas laki-laki mereka merasa film ini adalah film tentang perempuan. Selain karena akhirnya sejumlah ulasan (terpublikasi/tidak) dan diskusi (formal/non-formal) mengatakan bahwa akhirnya film ini malah menyudutkan perempuan dengan menggambarkan kemalangan-kemalangan tanpa solusi, sebagai perempuan, saya juga malu karena akhirnya film ini terlihat seperti lebih mementingkan isu ‘dari, oleh, dan untuk perempuan’ ketimbang menawarkan (pilihan) jalan keluar dari keterpurukan atau ketersudutan perempuan di Indonesia.
[1] Ardi Yunanto, Perempuan Punya Cerita atau Perempuan Punya Derita?, dalam situs pribadinya, 2007. Sumber: http://ardiyunanto.multiply.com/journal/item/17/perempuan_punya_cerita_atau_perempuan_punya_derita
Pemilik situs pribadi ini adalah Ardi Yunanto, editor jurnal seni rupa dan kota online Karbon (www.karbonjournal.org) yang diterbitkan oleh ruangrupa dan penulis lepas di majalah Visual Arts.
[2] Eric Sasono, Perempuan Punya Cerita: Para Perempuan Malang, dalam RumahFilm.org, 2007. Sumber: http://www.rumahfilm.org/resensi/resensi_perempuan.htm
Penulis ulasan ini adalah Eric Sasono, pemboyong Piala Citra untuk kritikus film terbaik tahun 2005 dan 2006 serta mendapat penghargaan sebagai kritikus film terbaik tahun 2005 versi Dewan Kesenian Jakarta.
[3] Maka, dalam tulisan ini saya hanya akan menyebut para pembuat PPC (sutradara, penulis naskah, dan produser) sebagai filmmaker.
[5] Ardi Yunanto, 2007.
[6] Sekelompok laki-laki pekerja dan (pernah) berkeluarga meminta diadakan Mentri Urusan Laki-laki karena Undang-undang Mahar. UU Mahar ini hanya mendengarkan suara perempuan, sehingga para laki-laki merasa tertindas. Lebih lanjut: Purawani Diah Prabandari, “Kaum Pria, Bersatulah” dalam Rubrik Internasional, Majalah Tempo Edisi 24-30 Desember 2007: 198.
[7] Hasil percobaan saya di http://www.google.com, Minggu, 18 Mei 2008, 10:37: 45 WIB.
[8] Habitus, menurut Bourdieu, adalah sebuah sistem dimana masing-masing individu menerapkan disposisinya sendiri untuk menghadapi realita sosialnya. Pada tahap yang lebih lanjut, disposisi diri ini menjadi pengalaman mental yang sudah biasa dialami, sehingga tidak lagi objektif (‘dipaksakan’) dan menjadi subjektif (‘normal’). Keterbiasaan menerima struktur objektif sosial, lama-kelamaan menjadikan masing-masing individu ‘terbiasa’ dalam tatanan pemikiran dan perilaku. Hal inilah yang akhirnya membuat hubungan doksal muncul.
Doksa, menurut Bourdieu, adalah pemahaman yang sudah tidak lagi dipikirkan, sudah tertanam, diterima sebagai kebiasaan yang mendasari perilaku dan pemikiran dalam lapangan (arena ‘perjuangan’ sosial) tertentu. Doksa bertendensi untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka yang memberikan previlese pada yang dominan dan mereka yang memperlakukan posisi dominannya sebagai sebuah keuntungan. Maka, kategori-kategori pemahaman dan persepsi yang mengonstitusikan sebuah habitus, yang harmonis dengan tujuan organisasi dalam sebuah lapangan, bertendensi untuk mereproduksi struktur dalam lapangan. Bourdieu memang melihat habitus sebagai kunci reproduksi sosial karena habitus adalah sentra pembuatan dan pembatasan hal-hal yang menjadi kehidupan sosial.
[9] Roland Barthes, “The Death of the Author” dalam jurnal Aspen Edisi ke 5+6, 1968.
Jurnal terbitan Phyllis Johnson pada 1965-1971 ini bisa diakses melalui internet (http://www.ubu.com/aspen/)
[10] “Jacques Derrida” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 22 November 2006, sumber: http://plato.stanford.edu/entries/derrida/
[11]Nicolas Royle, Deconstruction: A User’s Guide, London: Palgrave Macmillan, 2000: 300.
[12] Selanjutnya akan disebut dengan laki-laki-dalam-film, demikian juga dengan karakter perempuannya: perempuan-dalam-film.
[13] Seno Gumira Ajidarma, Layar Kata, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000: 2.
[14] ‘Kebaikan ideal’ maksud saya adalah yang penokohan yang biasa digunakan dalam film (atau sinetron) dalam menggambarkan karakter suami protagonis: ramah, sopan dalam bertutur, lembut, namun tetap mengurangi kelaki-lakiannya.
[15] Kata ‘istimewa’ saya beri tanda kutip karena merupakan istilah yang digunakan Sumantri untuk menjelaskan kelainan mental Wulan.
[16] Sepanjang film, saya hanya mengenalinya dengan sapaan ‘wo’. Nama Jarwo –dan juga Tejo– saya kenal melalui daftar pemainnya. Selain keanehan itu, bayangkan bagaimana penonton bioskop bisa mengetahui ‘kecacatan’ karakter Jarwo ini sementara adegan penegasnya dipotong LSF.
[17] Bentuk ‘pemberontakan’ anak muda memang merupakan tema yang selalu diangkat oleh sutradara film ini, Upi Avianto (Realita, Cinta, dan Rock ‘n Roll dan Radit dan Jani). Sayangnya, menurut saya, sejauh ini belum ada yang cukup mengena.
[18] Istilah ini terpaksa saya gunakan selain karena demikianlah mereka mengatakannya dalam film ini, saya ragu bagaimana cara (dan apakah ada cara) menyopankannya. Kata ‘gilir’ dalam konteks ini mengandung makna: mereka berhubungan seks dalam satu rentan waktu yang sama secara bergantian dengan satu perempuan. Selanjutnya dalam tulisan ini, atas nama keprihatinan, saya akan mencetak miring “istilah yang tidak simpatik” ini –meminjam istilah Eric Sasono dalam resensinya di RumahFilm.org.
[19] Sedemikian terkenalnya Maria Ozawa dengan nama Miyabi, sampai-sampai pada akhirnya dalam ‘khazanah pornografi kontemporer’ istilah Miyabi ini digunakan untuk mengidentifikasi semua bentuk film porno dari Jepang.
[20] Pada bagian ini, Anda akan menemukan kalimat yang (lagi-lagi) tidak ‘enak’, yaitu “…lha wong aku ndak sempet keluar, kok!” ujar Yanto yakin namun juga pasrah.
[21] Saya tidak tahu pasti, apakah dengan ini saya bisa mengatakan penulis naskah dan sutradaranya yang tidak beretika karena telah ‘menipu’ penonton dengan tidak memberikan petunjuk sama sekali.
[22] Kata ‘bencong’ saya beri tanda kutip karena saya ragu istilah tepat guna untuk laki-laki yang berdandan dan berperilaku mirip dengan perempuan. Mengingat transeksual adalah istilah untuk mereka yang mengoperasi alat kelaminnya’ ‘banci’ lebih sering mengacu pada laki-laki bersifat ‘tidak maskulin’; ‘bencong’ dan ‘waria’ sering digunakan dengan makna yang serupa (dan sama) kepada laki-laki yang berpakaian perempuan tanpa kejelasan apakah mereka sudah mengoperasi kelaminnya.
[23] Lagi-lagi, saya mengetahui namanya adalah Bun Liang, bukan hanya ‘Koh, melalui daftar pemain diakhir film. Sebuah pertanyaan non-akademis –dari sisi jender, kebudayaan, maupun jurusan saya, seni rupa– kemudian muncul saat melihat kenyataan ini untuk kedua kalinya, apa perlunya karakter ini diberi nama apabila tidak digunakan dalam filmnya? Mengapa tidak seperti Once (Sutradara, 2007) yang dengan beraninya tidak memberi nama untuk kedua tokoh utamanya tetapi tetap berhasil membawa penonton mengenal keduanya?
[24] Ini adalah frase yang digunakan Maesaroh dalam menceritakan kejadian yang dialaminya bersama Narto.
[25] Pierre Bourdieu, Masculine Domination, Terj. Richard Nice, Canada: Stanford University Press, 2001.
[26]Janet Saltzman Chafetz, Handbook of the Sociology of Gender, Netherland: Springer, 1974: 35-36.
Ketujuh area maskulinitas itu adalah:
- 1. Physical: virile, athletic, strong, brave. Unconcerned about appearance and aging;
- 2. Functional: breadwinner, provider for family as much as mate;
- 3. Sexual: sexually aggressive, experienced;
- 4. Emotional: unemotional,s toic, the proverb saysb oys don’t cry;
- 5. Intellectual: logical, intellectual, rational, objective, practical;
- Interpersonal: leader, dominating; disciplinarian; independent, free, individualistic; demanding;
- 7. Other Personal Characteristics: success-oriented, ambitious, aggressive, proud, egotistical; moral, trustworthy; decisive, competitive, uninhibited, adventurous.
[27] Lihat Grace Samboh, “Yogyakarta dalam Film Layar Lebar: Banal, Binal, dan ‘Ndeso” di http://www.rumahfilm.org/artikel/artikel_yogya.htm