Seniman jalanan sibuk menuntut hak penggunaan ruang publik sebagai ruang mereka berkarya. Pemerintah kota sibuk menata iklan luar ruang yang semakin menggila jumlah dan ukurannya. Penduduk kota sibuk mengeluhkan polusi visual; ada yang diresahkan oleh iklan, ada juga yang terganggu dengan karya-karya visual di ruang publik. Pemerintah dalam level kelurahan sibuk mengklaim tembok ini dan itu sebagai milik warganya (yang tentu tidak selalu rela digambari atau dicorat-coret orang). Wacana pertatakotaan sibuk menelaah perihal ruang; ruang publik, ruang privat, privatisasi ruang publik, atau apalah.
Katanya (entah siapa ‘nya’ itu), ruang publik di Indonesia terbatas, terutama Jakarta. Coba kita hitung berapa jumlah taman kota di Jakarta! Seberapapun banyaknya, apakah fungsinya sebagai ruang publik berjalan? Saya (dan Anda yang hidup di Jakarta) kenal Taman Lawang sebagai taman para bencong, Taman (lapangan) Banteng sebagai tempat mencari gigolo, Taman Suropati identik dengan gay –pada hari-hari tertentu. Ada juga taman pelataran Monumen Nasional (Monas) yang dipergunakan sebagai tempat pacaran para pendatang kota (rata-rata dari kelas sosial menengah ke bawah) dan taman-taman kompleks perumahan yang diperlakukan pendatangnya sama seperti Monas. Terahir, ada Taman Menteng, taman baru yang ‘bersifat’ berbeda dengan taman lainnya. Mereka yang nongkrong di taman terbaru ini memang lebih beragam. Sejauh ini, Taman Menteng berjalan fungsinya sebagai ruang publik.
Mereka yang nongkrong di Taman Menteng bervariasi, dari anak kecil, remaja, sampai dewasa –saya belum pernah melihat manula disana. Sayangnya, ruang seperti itu hanya satu. Tidak ada lagi diseluruh penjuru Jakarta (atau, mungkin, saya saja yang tidak tahu). Hal ini patut disayangkan mengingat jumlah penduduk di Jakarta. Kalau penduduk Yogyakarta bisa dipuaskan dengan dua alun-alun di pelataran kraton, Jakarta tidak cukup hanya dengan Taman Menteng.
Jakarta dipenuhi ruang-ruang privat yang berkedok ruang publik. Ada mal, townsquare, pusat perbelanjaan, dan plaza dimana-mana. Banyak juga terdapat ruang-ruang publik yang –kata pengaji pertatakotaan itu– diprivatisasi, misalnya: bawah jembatan layang dengan iklan-iklannya, sementara di Amsterdam ruang-ruang seperti itu digunakan untuk taman bermain anak. Usaha-usaha bermain-main dengan ruang publik juga sudah dilakukan di Jakarta –seperti Jakarta 320, ruangrupa.
Ah, dengan pesimis, saya merasa semua usaha pengajian dan penggunaan ruang publik itu tak berguna. Jangankan ruang publik, ruang privat pun tak ada di negara ini. Atas nama agama, sekelompok masyarakat bisa saja menggrebek ruang-ruang privat, seperti klub-klub malam misalnya. Polisi, sebagai aparat negara, diam dan hanya menonton. Entah atas dasar apa, saya baca salah satu komentar di multiply seorang teman kalau di Surabaya flashdiskpun ikut di razia. Apa yang dicari disana tak jelas. Apakah sekarang pilihan orang untuk mengonsumsi video atau gambar porno menjadi urusan negara?
Lebih parah lagi, sekarang akses terhadap multiply, youtube, rapidshare, dan metaface diblokir segenap perusahaan penyedia jasa internet atas amanat Departemen Komunikasi dan Informasi. Saya mungkin bukan blogger sejati, saya bahkan tidak mengategorikan diri saya blogger. Hanya saja saya termasuk mereka yang marah/tersinggung (atau apalah) ketika para blogger itu dikategorikan blogger negatif. Beberapa malah disamakan dengan hacker. Ada baiknya manusia-manusia yang dengan sombongnya menyatakan diri sebagai pakar belajar dahulu apa makna (dan kemudian dampak) dari kata-kata yang dikeluarkan dari mulutnya. Pernyataan-pernyataan bodoh macam itu bisa menyesatkan orang-orang yang masih awam dengan penggunaan internet. Jangankan yang awam, yang akrab dengan internetpun belum tentu bisa membedakan antara hacker dan cracker. Tentu menyedihkan bagi para blogger apabila mereka dinyatakan sama dengan hacker.
Ah, entahlah. Negara ini memang sudah gila! Jangankan ruang publik, ruang privat saja ingin dikuasai! Buat saya, sekarang tidak ada lagi batas antar ruang-ruang tersebut. Bagaimana tidak kalau multiply yang saya perlakukan sebagai buku harian saja diblokir pemerintah! Aneh! Masakkan pemerintah akan cukup punya waktu untuk mengakses, merazia, dan merampas buku harian fisik yang ada disetiap rumah di pelosok negara ini?