Kontradiksi kumis: Jijik tapi menarik!

Apa yang membuat Hitler, Charlie Chaplin, dan Asmuni pantas digolongkan dalam satu kategori? Kumis! Bukan sekedar pertanyaan retoris seperti “Ada Apa dengan Cinta?”, “Ada Apa dengan Kumis?” adalah sebuah pameran tunggal seni rupa, Nanang Zulkarnaen, yang menawarkan Anda perspektif lain perihal kumis. Nanang terusik dengan berbagai pandangan orang terhadap kumis. Heran, geli, kagum, risih, nggilani, dan beragam kesan ditemukannya selama ia memelihara kumis.[i] Keheranannya terhadap kesan-kesan orang ini diterjemahkannya menjadi sebuah rangkaian karya yang unik perihal kumis.

Karya-karya Nanang yang dipamerkan 9-16 Mei 2008 ini berangkat dari sejumlah pengalaman empiriknya selama memelihara kumis. Nanang menyebutkan sejumlah keuntungan berkumis: menambah citra kewibawaan, kejantanan, sampai, yang ekstrim, untuk penyaring teh seperti Nietszche. Biasanya yang khawatir perkara kumis ini adalah pria-pria yang memiliki pasangan (atau calon pasangan), menurut Nanang. Perihalnya sederhana, rata-rata mereka takut terlihat tua atau tidak disukai pasangannya.[ii]

Menurut Deborah Cole, pengajar tamu Kajian Budaya dan Media Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dari University of Pan, Amerika, kumis diasosiasikan dengan ketidak-higienisan di negaranya. Sementara ia merasa jijik melihat pria berkumis, sejumlah politisi kelas ‘menengah’ (Indonesia) malah melestarikannya. Coba lihat poster-poster Pemilihan Kepala Daerah! Rasanya, hampir tidak ada yang tidak berpeci (seperti Bali dan Manado) dan rata-rata, kalau tidak keduanya berarti minimal wakilnya, berkumis. “Saya relakan kumis saya ini dicoblos seluruh warga,” ujar Fauzi Bowo dalam sebuah Debat Publik Pilkada Jakarta 2007.[iii] bersaing dengan Adang Daradjatun yang secara media promosi lebih ‘berisik’ dimana-mana. Menariknya, popularitas ‘Ayo Benahi Jakarta’ Adang-Dani, yang pendekatan kampanyenya lebih berjiwa-muda, kalah dengan ‘Coblos Kumisnya!’ Fauzi-Prijanto.[iv]

Bagaimana kumis bisa diidentikan dengan kewibawaan? Pertanyaan ini bukan hanya muncul dari rasa penasaran saya. Sejumlah situs pribadi (blogspot, multiply, dll) juga mempertanyakan hal ini.[v] Sejarah modern mencatatkan bahwa awalnya kumis digunakan oleh kalangan militer dan seiring kenaikan pangkatnya semakin tebal dan bervariasi bentuk kumisnya –konon para militan ini setelah berpangkat baru boleh berjanggut.[vi] Saya kemudian mengasumsikan bahwa atas alasan inilah kumis diasosikan dengan kewibawaan. Padahal, kumis ini bukan hanya isu laki-laki dan kelaki-lakian. Coba tengok Frida Kahlo! Ia termasuk perempuan yang memutuskan untuk melestarikan kumisnya, seperti juga Iis Dahlia, yang akhirnya dinilai seksi karena kumisnya –atau akhirnya menjadi eksotik hanya karena mereka perempuan.

Kumis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, diartikan sebagai: bulu (rambut) yang tumbuh di atas bibir atas,  biasanya hanya terdapat pada laki-laki. Kaum Muslim memiliki sejumlah perdebatan pemahaman mengenai kumis, apakah harus dipotong habis, dipotong hanya sebatas tidak menutupi bibir, atau sunah.[vii] Walau ternyata sebagian aliran dalam Muslim menolak kepemilikan kumis, beberapa wanita dikatakan bahkan lebih menyukai pria berkumis daripada pria yang memelihara anjing.[viii]

Menarik, memang, fenomena kumis ini. Cerita pengalaman Nanang dimulai dengan teguran seseorang yang mengaku haji kepadanya, pada saat menunggu khotbah Jumat’an. “[…] sebaiknya kumis bapak dipotong yang rapi, karena menurut hukum Islam itu makruh […],” demikian, kutip Nanang, kata-kata pria yang menegurnya di Masjid Agung, Yogyakarta, dan menutup tegurannya dengan penjelasan tentang makruh. Nanang memang mengucapkan terimakasih, namun ia terusik. Ia tak peduli –dan, menurut saya, memang tidak perlu peduli.

Karya-karya Nanang dipamerkan di Bengkel Hobi, ruang pamer kecil Indonesian Visual Art Archive dengan cara yang tak kalah unik dengan temanya. Nanang men-display sejumlah ilustrasi, objek, dan instalasi bertema kumis dalam sebuah galeri-siap-pindah berukuran 1 x 1 meter. Apabila Anda adalah manusia kerdil bertinggi badan sekitar 15 cm, Anda bisa berjalan-jalan di kedua lantai galeri-siap-pindah itu untuk menikmati ke-22 karya Nanang. Tentu karena galeri-siap-pindahnya sedemikian kecil, karya-karyanya menjadi kecil. Untuk melihat detil karya Nanang, Anda bisa menggunakan kaca pembesar. Galeri-siap-pindah ini dikonstruksi menjadi (semacam) maket dari gedung bertingkat dua dengan tembok kaca. Seperti layaknya galeri, karya Nanang di-display pada tembok dengan rapi dan tertata. Objeknya diperlakukan selayaknya, begitu juga dengan instalasinya.

IMG_1702
Galeri-siap-pindah dengan karya-karya Nanang Zulkarnaen. Foto: Dwi Rahmato, koleksi IVAA.

Sejumlah karya Nanang ini adalah sebuah narasi kecil yang saya rindukan dalam karya-karya seni rupa kontemporer. Sudah terlalu banyak karya-karya seni rupa kontemporer yang mengangkat narasi yang –menurut saya– terlalu besar. Keterlalubesaran narasi yang diangkat kemudian membuat saya, yang mau mengapresiasinya, susah mencari ‘pintu masuk’ ke dalam dunia karya tersebut. Akhirnya, narasi-narasi besar ini menghilangkan sentuhan pribadi si seniman. Tidak ada hal baru yang bisa saya temukan dalam karya-karya dengan narasi terlalu besar.

Padahal, seperti kata Jakob Sumardjo, sebuah benda seni itu harus bisa memberikan pengalaman baru pada penikmatnya dan baru disebut sebagai seni ketika sudah berada di tangan penanggapnya. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai.[i] Susah rasanya mendapatkan pengalaman baru apabila yang disajikan adalah karya-karya dengan tema sosial, yang sehari-hari sebenarnya dapat dibaca melalui media massa, sementara saya tahu senimannya bukan sosialis. Narasi-narasi kecil –seperti kegelisahan perihal kumis yang disampaikan Nanang dengan ciamik ini– cenderung lebih dekat dengan sang seniman, sehingga, menurut saya, memudahkan seniman untuk mentransfer hal-hal yang ingin disampaikannya melalui karyanya.

Keterpengaruhan pengunjung pada kumis yang diusung Nanang sebagai tema jelas terlihat. Sejumlah pengunjung pembukaan pameran ini mengenakan kumis palsu. Kumis palsu merekapun dalam waktu singkat menjadi rebutan pengunjung lainnya, untuk dipinjam, sekadar untuk berpose depan kamera. Bukan hanya pengunjung laki-laki, tetapi juga pengunjung perempuan. Kumis, yang sebenarnya perihal sepele ini, diolah dengan sangat menarik oleh Nanang. Narasi yang sehari-hari ditemukan dalam kehidupan –seperti kumis ini– terbukti dapat menjadi sebuah isu yang menarik perhatian dan keterlibatan penikmat seni rupa kontemporer. Kenapa musti repot-repot dengan narasi besar yang membuat penikmatnya mengernyitkan mata –entah bingung, heran, atau sama sekali tidak mengerti– saat melihatnya?

Sumber:

Ahmadi Arramadhaniy, “Memotong Kumis” dalam situs Istiqomah Diatas Al Qur’an dan Sunah Dengan Pemahaman Salafus Shalih, 18 Juli 2007. (http://abumuslimsalafi.wordpress.com/2007/07/18/memotong-kumis/)

Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000.

Muhamad Nur Hayid, “Adang Tanya Kelebihan Kumis Fauzi Bowo” dalam situs Detik, 4 Agustus 2007. (http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/04/time/221025/idnews/813345/idkanal/10)

Nanang Zulkarnaen, dalam pengantar pameran tunggalnya “Ada Apa dengan Kumis”, di Bengkel Hobi Indonesian Visual Art Archive, 2008.

http://en.wikipedia.org/wiki/Moustache

http://tolololpedia.wikia.com/wiki/Kumis


[i] Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000: 47


[i] Nanang Zulkarnaen, dalam pengantar pameran tunggalnya “Ada Apa dengan Kumis”, di Bengkel Hobi Indonesian Visual Art Archive, 2008.

[ii] Nanang Zulkarnaen, 2008.

[iii] Muhamad Nur Hayid, “Adang Tanya Kelebihan Kumis Fauzi Bowo” dalam situs Detik, 4 Agustus 2007. (http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/04/time/221025/idnews/813345/idkanal/10)

[iv] Padahal, ‘Coblos Kumisnya!’, penggalan lagu yang dinyanyikan Gita Gutawa dalam iklan Fauzi Bowo, hanyalah ‘curian’ refrein lagu ulang tahun Potong Kuenya.

[v] Cobalah Anda cari, melalui Google, kata kunci ‘kumis, wibawa, politik’! Anda akan menemukan 2.810 hasil pencarian dan beberapa pada penemuan-penemuan awal dari situs/blog pribadi yang mempertanyakan fenomena kumis dan kewibawaan¾di Indonesia.

[vii] Lihat Ahmadi Arramadhaniy, “Memotong Kumis” dalam situs Istiqomah Diatas Al Qur’an dan Sunah Dengan Pemahaman Salafus Shalih, 18 Juli 2007. (http://abumuslimsalafi.wordpress.com/2007/07/18/memotong-kumis/)

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: