Perasaan-perasaan yang dibangun oleh ingatan-ingatan

(For English version, click here.)

Sepanjang perjalanan artistiknya, Anusapati bekerja dengan kayu dan dengan hal-hal di seputar perkayuan. Seumur hidup Indonesia, pengembangan dan pembangunan berpusat di Jakarta dan sekitarnya, baik yang kemudian diklaim sebagai Jakarta maupun kota-kota satelitnya. Kedua hal ini seolah tidak berhubungan satu sama lain, tetapi bisa jadi analogus.

Anusapati menghabiskan sebagian masa kecilnya di sebuah daerah yang tak jauh dari ujung dunia. Ia dan teman-teman kecilnya kerap saling mengingatkan, “Awas, jangan main sampai ke ujung dunia!” Seolah dekat sekali ujung dunia itu! Ternyata, yang mereka maksud ujung dunia waktu itu adalah sehamparan pohon karet yang (seolah) tiada berujung di dekat permukiman mereka. Daerah itupun masih disebut Kebun Karet sampai sekarang. Semenjak zaman penjajahan Belanda, perkebunan karet memang bisa sampai ratusan hektar luasnya di seputar Batavia. Kebijakan industrialisasi Orde Baru adalah tonggak perubahan tata guna lahan ini. Apalagi desa-desa yang terletak di pinggir Jakarta. Semenjak awal 1970-an, pembangunan pabrik-pabrik dan perubahan menuju kawasan industri terjadi hampir serempak di pinggiran Jakarta. Sekarang, ruang hidup masa kecil Anusapati itu sudah tidak ada lagi. Pohon-pohon karet telah berganti menjadi jalan tol Jagorawi, mal, pabrik garmen, perumahan, bumi perkemahan, dlsb.

“Ingatan adalah sumber inspirasi, penjelasan, dan pengetahuan,” kata Anusapati.[1] Ada jenjang dan dramatisasi yang diperlukan dalam runutan berpikir itu. Ingatan adalah kekuatan pikiran untuk mereproduksi perasaan atau kesan berdasarkan sesuatu yang pernah dialami. Sementara kenangan adalah munculnya lagi pikiran yang pernah ada karena dipicu oleh sesuatu yang di luar diri. “Ingatan, lho, bukan kenangan,” lanjutnya.

PLA_Installation-View-06-1349x900

Sejumlah pohon lain juga ada di hampir setiap halaman kawan kecilnya, di sekitar rumahnya itu; misalnya pohon jengkol, kecapi, jambu methe, dan durian. Buah dari pohon-pohon ini bisa dimakan begitu saja ataupun diolah menjadi masakan. Anusapati masih ingat betul bagaimana jajaran pohonnya, karakter daunnya, sampai dengan bentuk buah dan bijinya. Sekarang ini, pohon-pohon ini tak ada lagi di kawasan perkotaan manapun. Bahkan tukang tanaman pun tak menjualnya lagi. Apa yang Anda lihat di ruang pamer kedua didapatkan Anusapati dari sumber-sumber yang cenderung acak. Ranting, daun, dan buah jengkol didapatnya dari salah seorang muridnya yang mengaku masih mengenal pohon itu karena ada di halaman rumahnya di Purbalingga. Sementara kecapi didapatkannya di Serang, dari seorang mahasiswa lain yang bisa mendeskripsikan karakter buah dan bijinya sesuai dengan ingatannya.

Pernyataan Anusapati mengenai ingatan tadi mengingatkan saya pada catatan Jose Luis Borges mengenai bagaimana Plato ‘menghidupkan kembali’ gurunya, Socrates. Ingatan Plato akan Socrates adalah suka, duka, sekaligus kerinduannya. Ia sama sekali tidak berusaha mengenang Socrates melalu benda-benda ataupun naskah-naskah. Menurut Borges, Plato menggunakan ingatannya justru untuk menjadi sumber penghidupan, bukan untuk berkubang dalam duka. Plato menggunakan ingatannya sebagai landasan untuk terus menerus memaknai ulang sekaligus memberikan makna baru akan pikiran-pikiran Socrates.

Plato pernah membicarakan buku dengan nada yang agak merendahkan: “Apa itu buku? Seperti halnya gambar, buku juga mencoba jadi makhluk hidup; padahal apabila kita bertanya pada si buku, ia tak bisa menjawab. Maka dari itu, kita juga tahu bahwa buku itu mati.” Supaya buku bisa menjadi sesuatu yang hidup, dengan bahagianya ia menciptakan percakapan-percakapan Platonik yang semacam meramalkan rasa penasaran, keraguan, dan pertanyaan pembacanya. Kita juga bisa bilang bahwa Plato sudah lama merindukan Socrates. Setelah kematian Socrates, ia sering berkata pada dirinya sendiri, “Hm, kira-kira apa pendapat Socrates mengenai keraguanku yang ini? Atau pikiranku yang kemarin?” Akhirnya, supaya ia bisa mendengar lagi suara sang guru yang dicintainya, ia menuliskan jawaban-jawaban sang guru. Dalam ragam percakapan ini, Socrates adalah pembela kebenaran. Terkadang, kita bisa melihat bagaimana perasaan Socrates didramatisasi. Seringkali tak ada kesimpulan dalam percakapan-percakapan ini sebab Plato menulis sembari berpikir; jadi, ia sendiri tidak tahu kapan ia akan sampai pada halaman terakhir. Ia membiarkan pikirannya menjadir liar, sekaligus mendramatisasi pikiran itu bagi banyak orang. Saya pikir, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan perasaan bahwa Socrates masih bersamanya, dan tidak pernah meminum racun sialan itu.[2]

Dalam kekaryaannya, Anusapati menggunakan kayu-kayu bekas pakai atau kayu-kayu yang dalam ambang kematian. Tidak ada dari kayu-kayu ini yang dibunuh semata untuk kekaryaannya. Karya-karya Anusapati selalu hadir dengan kesan yang mendalam dan pandangan yang mencerahkan. Hal ini berasal dari pemikiran dan kepekaan seorang seniman mengenai bentuk dan material yang digunakan yang bersumber dari lingkungan sehari-hari.[3] Dengan sadar, Anusapati hanya memanfaatkan potongan-potongan kayu sisa orang lain atau limbah kayu dari pohon yang telah mati, telah rubuh, atau hendak ditebang orang.

Akar-akar yang bergelayut di atap ruang pamer kali ini adalah pohon-pohon cendana India. Tak jelas apa nama latin dari pohon ini. Walaupun nama, bau, dan nasibnya mirip, sesungguhnya mereka tidak berasal dari keluarga yang sama dengan pohon cendana. Damar pohon cendana India ini konon juga bisa diolah menjadi atsiri; dengan kwalitas yang lebih rendah, maka juga lebih murah. Di dekat studio Anusapati, adalah sebuah areal perkebunan kecil yang seluruhnya berisi pohon cendana India ini. Si pemilik kebun ternyata dibohongi oleh sebuah perusahaan yang mengaku akan menjadi pembeli tunggal damar pohon ini. Setelah dua tahun, si calon pembeli damar pohon tsb tak bisa dihubungi, pemilik perkebunan ini pun putus asa. Perlahan, ia mulai menebangi pohon cendana India ini supaya bisa menjual lahannya. Anusapati membeli pohon-pohon ini. Walaupun ia tahu persis kalau kayu itu tak akan bisa bertahan lama.Ia memberi mereka kesempatan terakhir untuk berfungsi dalam dunia ini. Akar dan kayu cendana India inilah yang bisa Anda saksikan di seluruh ruang pamer pertama. Anusapati memberikan kesempatan bagi kayu-kayu ini untuk pernah menjadi indah. Untuk mengakhiri perjalanannya sebagai sesuatu yang indah.

Preservasi maupun konservasi bukanlah bagian dari cara berpikir (dan berkarya) Anusapati. Tak ada juga kehendaknya untuk menghadirkan penilaian, apalagi penuduhan, akan perilaku manusia terhadap kayu-kayu dan pepohonan tsb, apalagi terhadap alam secara umum. Anusapati sedang menyodorkan realita siklus kehidupan, di mana yang tidak dibutuhkan akan hilang selamanya. Tak ada sama sekali upaya representasional dalam kekaryaan Anusapati kali ini. Kayu-kayu pohon cendana India itu hadir apa adanya, sementara ranting-ranting serta bebuahan lainnya ‘dimumifikasi. Ya, mumifikasi. Para tembaga, perunggu, perak, ataupun emas itu benar-benar menyimpan ranting, daun, buah, dan biji dari pohon-pohon ingin dihadirkan Anusapati. Ingatan masa kecil Anusapati bukan hanya menjadi miliknya saja sekarang, tetapi juga milik kita semua yang pernah melihatnya. Kita tidak hanya berhadapan dengan representasi dari ingatan masa kecil Anusapati, tetapi juga dengan sumber aslinya sekaligus hasil olahan Anusapati akan ingatannya itu. Secara kongkret, kita dihadapkan dengan obyek dalam ingatan Anusapati, perasaannya yang lekat terhadap ingatan itu, sekaligus sumber dari ingatan itu sendiri.

Sanento Yuliman pernah berpendapat bahwa para seniman di Indonesia, dari gaya manapun (realisme sampai dengan abstrak), kerap merasa berkewajiban untuk mengungkapkan pengalaman mereka senyata-nyatanya. Hasilnya beragam mulai dari kenyataan yang diwakilkan, disarikan sampai dengan yang dihadirkan begitu saja ke dalam ruang pamer.[4] Kongkretisme dalam khasanah praktek artistik Anusapati adalah kelanjutan dari cara berpikir Sanento Yuliman yang dipaparkannya dalam konteks Seni Rupa Baru tadi. Benda-benda yang diolah kemudian dihadirkannya dalam ruang pamer adalah produk dari ingatannya, bukan pengalamannya. Bukan kenangan, nostalgia, ataupun pengalaman masa kecilnya yang ingin ia hadirkan bagi kita semua.

Ingatannyalah yang ditawarkannya pada kita semua melalui karya-karyanya. Ingatan yang menginspirasi rasa keingin-tahuannya, pencariannya, sekaligus praktek artistiknya diolahnya menjadi sebentuk pengetahuan akan ruang, waktu, dan sepenggal kenyataan di dunia ini. Ingatan adalah kenyataan yang sudah lampau bagi Anusapati. Apa yang dihadirkannya sekarang adalah keberpihakannya pada ingatan itu sendiri, alam di sekitarnya, sekaligus keberlangsungan lingkungan hidup kita sendiri.

Kayu, beserta pepohonan dan habitatnya, bukan sekadar bahan bagi Anusapati. Kerimbunan ruang hidup masa kecilnya itu telah terus menerus menjadi alasannya untuk berkarya sekaligus gagasan utama kekaryaannya. Dalam pameran ini, Anusapati menggunakan dua pendekatan untuk mengolah karyanya. Yang pertama cenderung empirik, spasial, dan intuitif. Sementara yang kedua lebih hipotetik, serebral, dan rasional. Kedua hal ini harafiah dalam khasanah berpikir Anusapati dan manifestasinya pun terbagi ke dalam dua ruangan. Dalam khasanah praktek artistik Anusapati, kedua ruang pamer ini mewakili dua jenis poetika yang berbeda. Ruang pertama dibangunnya untuk menggugah perasaan-perasaan dan emosi kita. Sementara ruang yang kedua dibangunnya untuk menggelitik intelektualitas kita mengenai benda-benda yang dihadirkannya. Ruang pertama menggugah rasa, sementara ruang kedua meyakinkan Anda akan perasaan-perasaan Anda sendiri.

Selamat datang di ‘ujung dunia’!

Catatan kaki

[1]     Percakapan dengan Anusapati, 22 Februari 2018.

[2]     Jorge Luis Borges, 2000. “The Riddle of Poetry” dalam This Craft of Verse
(The Charles Eliot Norton Lectures 1967-1968). Cambridge, Massachusetts & London, England: Harvard University Press. Hal. 4-8. 

[3]     Hendro Wiyanto, 2001. Pengantar kuratorial pameran tunggal Anusapati “Genesis” di Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia.

[4]     Sanento Yuliman, 1975. Perspektif Baru. Pengantar dalam katalog “Pameran Seni Rupa Baru Indonesia 1975” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

PLANTSCAPE
Pameran tunggal Anusapati
ROH Projects, 24 Mar – 17 Apr 2018
Unduh katalog di sini (Download catalogue here)
Lihat pameran di sini (Exhibition shot here)

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: