Mata pelajaran ke-15

Sebuah catatan kuratorial
Oleh Angga Wijaya dan Grace Samboh

Landasan berpikir
Ada dua hal yang segera muncul saat memikirkan sebuah pameran sebagai bagian dari perayaan 10 tahun Serrum, Festival Ekstrakurikulab. Pertama, para seniman yang punya kecenderungan praktik pendidikan (baik formal maupun nonformal). Mulai dari guru, dosen, sampai kepada mereka yang kerap mengadakan beragam bentuk lokakarya. Kedua, sejumlah karya yang yang membicarakan atau menyimulasikan gagasan serta laku pendidikan. Mulai dari yang hadir dalam bentuk kelas, tutorial, sampai dengan yang menghadirkan isu-isu seputar pendidikan. Dalam proses berpikir pameran ini, tidak ada batasan umur karya maupun seniman, demikian juga batasan geografis (di mana karya tsb dibuat atau di mana seniman tsb tinggal dan bekerja). Yang justru segera jadi batasan adalah kemungkinan publik pelihat pameran; publik Jakarta. Aplikasi dari batasan ini adalah nyaris tidak adanya karya yang baru dipamerkan di Jakarta dalam lima tahun terakhir.

ANGLE EXHIBITION MATA PELAJARAN KE 15 BY REZAA-7351

Proses pemilihan
Proses kerja kami dimulai dengan mengidentifikasi para seniman yang punya peran besar dalam perkembangan praktik artistik di lingkungan hidupnya masing-masing. Kami mulai dengan Mulyono dan (apa yang dikenal sebagai) seni rupa penyadaran—istilah yang sesungguhnya tidak lahir darinya, tetapi dari Siti Adiyati Subangun yang berupaya mengartikulasikan kerja artistik Pak Mul. Dalam sebuah diskusi di C20, Surabaya, Pak Mul menceritakan awal mula kepercayaan dirinya bahwa lingkungan sekitar (baik alam maupun orang-orangnya) bisa menjadi bagian dari sebuah karya, Proyek Joko Budheg (1983). Segera saja kami teringat pada karya Anusapati dalam Pameran Seni Lingkungan di Pantai Parangtritis, 1982. Selain menjadi dosen yang mendukung ragam eksperimentasi para mahasiswa Jurusan Patung dalam ruang lingkup kampus, Pak Ninus adalah seorang dosen yang praktik artistik pribadinya tidak ditinggalkan. Kami langsung mencari cara untuk menghadirkan semangat anti-formalisme 1970an yang kental dengan ragam praktik artistik para perupa di masa Orde Baru. Bonyong Munni Ardhi yang menantang batasan formal patung melalui karya Patung Suara (1979) menjadi pilihan kami.

Seiring jalannya diskusi, sejumlah karya yang secara langsung menghadirkan ragam dimensi terkait pendidikan juga muncul seperti Aditya Novali dengan permutasi gambar dua gunung yang di tengahnya ada matahari dan jalanan, dengan kotak-kotak sawah yang menyimulasikan perspektif; Tom Nicholson yang mempelajari serta mengulang kembali moda produksi diorama Edhi Sunarso; Hikaru Fujii yang menabrakkan sistem pengajaran Amerika, Jepang, dan Korea pada awal 1940an; Kokok P. Sancoko dengan lukisan pemandangan sebagai langkah awal pembelajaran praktik lukis; dan salah satu anggota Persagi yang memiliki pengalaman langsung melihat perkembangan seni lukis Barat Emiria Soenassa. Demikian juga dengan ragam karya yang menyimulasikan pendidikan seperti Lembar Kerja Seniman (2016) karya Cecil Mariani; Klinik Rupa dr. Rudolfo kelas gambar potret di bawah asuhan perupa RE Hartanto; kelas memasak sejarah imperialisme Jimmy Ong; Rahman Seblat yang membuat kelas seni di penjara.

Secara tidak sadar, kami menghindari memilih kolektif. Misalnya, Video Lab dengan etos berkarya adalah Just Do It yang menjadi ruang belajar bersama para anggotanya; House of Natural Fiber yang sudah hampir 20 tahun dan sudah menguji coba entah berapa puluh model lokakarya; ruangrupa yang menjadikan Jakarta dan segala pranatanya sebagai ruang bermain sekaligus bekerja; Jatiwangi art Factory yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja dalam ruang lingkup desa, kecamatan, dan sekarang kabupaten; batasan ‘kuno’ antara seni dan kriya yang dileburkan oleh Jakarta Contemporary Ceramic Biennale dalam delapan tahun terakhir ini. Kami baru menyadarinya ketika mulai membicarakan festival seni rupa pertunjukan tahunan asuhan Melati Suryodarmo, Undisclosed Territory. Setiap kali nama kolektif muncul (karena pendidikan adalah ranah yang butuh lembaga, dilembagakan, atau pelembagaan), yang kami lakukan adalah berupaya mengidentifikasi sosok-sosok seniman di belakangnya. Kami memilih untuk menghadirkan karya-karya pribadi para seniman ini seturut dengan kesadaran pembuatan pameran seni rupa dalam rangkaian festival yang berfokus pada kelindan antara seni rupa dan pendidikan.

Print

Membaca senarai pilihan karya
Ketika kita berbicara tentang pendidikan dan penyebaran pengetahuan, kesenjangan adalah niscaya—dari zaman penjajahan sampai hari ini. Pilihan karya-karya dalam pameran ini bukan semata untuk menghapus jarak antar umur, wilayah atau ruang hidup. Kami sadar bahwa, keberagaman itu jelas perlu dan kesamaan tidak bisa menjadi landasan untuk kehidupan bermasyakarat yang dinamis. Pilihan karya-karya dalam pameran ini adalah sebuah pertaruhan bahwa pengetahuan bisa disasar oleh seniman saat mencipta sekaligus bisa diciptakan oleh siapapun yang kemudian membaca karya tsb. Agensi ada pada pencipta dan pelihat. Pengetahuan adalah milik semua orang yang membutuhkannya.

Untuk berhasil dalam pertaruhan dibutuhkan kemampuan berhitung, mengukur, menakar, menimbang, dan membandingkan. Mental kebermainan, kecerdikan menakar, keberanian mengambil keputusan cerkas, serta kesiapan mengambil risiko adalah bekal utama untuk bertaruh. Jangan-jangan, mentalitas itu adalah pilihan melangkah yang paling masuk akal untuk berupaya membangun kesetaraan antar umat manusia.

Sampai tingkat tertinggi pendidikan wajib—Sekolah Menengah Atas—ada 14 mata pelajaran wajib. Sejauh ini, rasanya kita semua akan sepakat kalau ke-14 mata pelajaran wajib itu selalu saja kekurangan sesuatu. Mata Pelajaran ke-15 adalah mata pelajaran pilihan yang ingin kami tawarkan pada teman-teman semua. Kami percaya bahwa rasa penasaran, mental kebermainan, kecerdikan menakar, keberanian untuk bertindak dan bertanggung jawab adalah niscaya.

Pameran “Mata Pelajaran ke-15
bagian dari rangkaian Festival Ekstrakurikulab 2016
12-21 November 2017
Hall A4, Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, Indonesia
Katalog di sini

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: