Etika penulisan seni rupa di media massa

Wawancara dilakukan oleh Oming Putri via surel (Juni 2013)

Apakah Anda pernah mendengar tentang kontroversi dualisme profesi (kurator, kritikus) pada penulisan kritik jurnalistik seni rupa kontemporer di media massa? Dari mana Anda mendengar tentang kontroversi ini?

Tidak. Apakah ada kontroversi ini? Kapan dan di mana? Saya belum pernah dengar. Saya sangat terbuka untuk bahan atau referensi perihal ini (baik polemik, artikel media massa, esai, atau apapun yang terkait kontroversi dua peran tersebut). Kalau Mbak Oming punya, boleh dong saya dikirimi datanya biar bisa belajar :))

Menurut Anda, apa topik yang dibicarakan dalam kontroversi ini? (Untuk poin pertanyaan ini, mohon dituliskan selengkap-lengkapnya. Terimakasih.) Menurut Anda, apa penyebab munculnya kontroversi ini? Menurut Anda, pentingkah kontroversi dualisme profesi ini bagi Anda sebagai penulis?

Karena jawaban saya sebelumnya, saya tidak bisa menjawab pertanyaan Mbak Oming selanjutnya. Bagaimana kalau saya dikirimi dulu bahan/pemahaman Mbak Oming soal kontroversi antara dualisme profesi kurator/kritikus, baru saya menjawab lagi?

Kurator ‘pertama’ di Indonesia adalah Jim Supangkat. Ia muncul melalui Biennale Jakarta 1993. Ada banyak kontroversi seputar jabatan kurator ini. Kompas, Tempo, Media Indonesia, dan Republika memuat polemik ini. Seniman protes soal jabatan kurator; penulis dan akademisi mendukung adanya profesi ini; dst. Pada masa yang bersamaan (dan semenjak era seni rupa modern Indonesia), tradisi penulisan seni rupa di media massa sudah ada. Seniman, akademisi, penulis, peneliti seni rupa yang melakukannya (S. Soedjojono, Oesman Effendi, Umar Kayam, Siti Adiyati, Sanento Yuliman, Bambang Sugiharto, Sudjoko, Nashar, FX Harsono, Moelyono, Hardi, dst). Salah satu wartawan seni senior yang saya ingat: Bambang Bujono (Tempo). Salah satu berita yang pernah ditulisnya yang paling tua yang bisa saya ingat adalah tentang Desember HItam, 1974. Pada masa itu, peran kritik diambil oleh seluruh entitas seni rupa yang menulis, baik ia seniman, dosen, atau apapun. Sebelum saya melantur, segitu dulu, Mbak Oming. Maaf, kalau saya kurang paham sejarah seni rupa Indonesia, sehingga saya tidak tahu soal kontroversi kurator/kritikus yang mbak maksud. Sungguh, saya tidak bisa mengingat adanya kontroversi tsb. Mohon saya diingatkan atau diberitahu terlebih dahulu.

Sedikit soal pertanyaan terakhir, saya memosisikan diri sebagai peneliti dan kurator seni rupa. Bukan penulis. Bahwa kedua pekerjaan itu punya konsekuensi menulis, benar. Tapi, saya tidak ingin jadi penulis.

Soal kontroversi ini, saya dengar isunya waktu saya residensi tahun lalu. Dimana pihak yang pro dan kontra adalah pihak-pihak yang waktu itu saya wawancarai, yaitu Pak Raihul Fadjri (kontra soal dualisme profesi pada penulisan kritik jurnalistik di media massa, khususnya cetak) dan Pak Kuss Indarto juga Pak Mikke Susanto (pro soal dualisme profesi tersebut). 

Saya tidak pernah berada dalam diskusi publik atau melihat polemik (di media massa) perihal kontroversi yang mbak maksud. Maka itu, saya tidak menganggap ada kontroversi nyata soal kurator/kritikus tsb. Kontroversi nyata yang saya maksud, misalnya, soal Pink Swing Park (Jim Supangkat & Enin Supriyanto), soal seni lukis Indonesia tidak ada (Oesman Effendi dan S. Sudjojono); dsb. Kalau cuma omong-omongan saja, banyak sekali yang patut dikhawatirkan dalam ranah seni rupa kontemporer kita. Hehe.

Kalau Mbak Grace belum pernah dengar tentang kontroversi ini, saya akan minta pendapat mbak tentang satu kondisi dimana kurator yang menulis kritik di media massa. Apakah yang Anda ketahui tentang etika jurnalisme di media massa?

Saya lumayan paham soal kode etik jurnalistik; paling tidak, perihal ia idealnya menjunjung tinggi kebenaran dan hak asasi manusia.

Menurut Anda, apakah kurator yang menulis kritik di media massa menyalahi etika jurnalisme karena berpotensi adanya konflik kepentingan?

Menurut saya, pertanyaan Anda problematik. Berikut pertanyaan saya atas pertanyaan Anda dan sedikit latar pemikiran saya tentang (profesi) kurator/kritikus, kritik seni rupa, dan penulisan di media massa. (Ketiganya adalah soalan yang berbeda, menurut saya.)

Bagaimana Anda menentukan yang mana kritik dan yang mana yang bukan dari tulisan para kurator dalam media massa? Sebagai contoh, coba tilik polemik tentang Kelompok Seni Rupa Jendela ini. Dalam pandangan saya, yang terjadi adalah:

  • Wartawan Raihul Fadjri menuliskan ulasan pameran,
  • Pengamat seni rupa (yang juga seorang kurator) Agus Dermawan T menuliskan kritik, dan
  • Kritikus Hendro Wiyanto (waktu itu belum melakukan praktik kuratorial) menuliskan kritik atas pandangan Agus Dermawan T.

Ada beberapa poin yang ingin saya angkat berkaitan dengan satu contoh di atas: Siapapun entitas seni rupa yang menulis dalam media massa (baik seniman, kurator, kritikus, peneliti, pengamat, manajer, pekerja, dst) tidak terbebani kode etik jurnalistik. Media yang bertugas ‘menyaringnya’ sesuai kepentingan media tsb atau sesuai dengan apa yang dianggap media tsb penting bagi publiknya. Kurator bisa saja menuliskan kritik dan media punya hak untuk tidak menerbitkannya apabila dianggap ‘berat sebelah’. Media seharusnya menjadi penjaga kode etik jurnalistik karena itu memang wilayahnya dan entitas seni rupa (apapun profesi mereka) seharusnya menjaga kode etiknya sendiri. Kembali ke contoh polemik di atas, hanya Agus Dermawan T. yang merupakan kurator yang menuliskan kritik.

Berhubung ranah seni rupa kita tidak didukung oleh peran negara sehingga beragam infrastruktur menjadi timpang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali, peran ganda para pelaku seni rupa ini sangatlah penting dalam perkembangan seni rupa. Hal ini sekaligus mencerminkan dinamika dunia seni rupa kita. Seniman bisa juga (sesekali atau sering) menjadi kurator dan pada waktu yang bersamaan menjadi kolektor. Demikian juga kurator bisa juga menjadi peneliti atau pengajar. Satu orang bisa menjalankan sejumlah peran profesional pada waktu yang bersamaan. Contoh: Agung Hujatnikajennong adalah pengajar di Institut Teknologi Bandung dan juga kurator. Contoh lain: Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo, keduanya adalah seniman dan sekaligus (pendiri dan) pengurus Rumah Seni Cemeti. Contoh lain: Affandi dan Nasirun, keduanya adalah seniman yang juga merupakan seorang kolektor (melakukan kegiatan mengoleksi karya seniman lain).

Kembali ke polemik di atas sebagai contoh, kalau Anda perhatikan, Agus Dermawan T. menuliskan posisinya sebagai pengamat seni rupa dan pendukung seni rupa baru. Karena kondisi seni rupa kita, hemat saya, detil sederhana soal bagaimana masing-masing kontributor media massa (nonwartawan) memosisikan dirinya ini sungguh menarik diperhatikan. Pada saat Anda mengajukan kurator/kritikus, menurut saya, penting untuk menunjuk secara khusus kasus-kasus mana yang Anda rujuk. Pada praktiknya, Anda tidak bisa menggeneralisasi semua tulisan kurator di media massa sebagai naskah kritik. Kurator tidak HANYA menulis kritik di media massa. Kurator bisa saja menuliskan ulasan pameran/kegiatan/diskusi/buku/penerbitan, refleksi sejarah, perkembangan terkini, atau berbagai macam hal lainnya di media massa. Sejumlah contoh:

  • Harian Kompas, Minggu, 21 April 2013, Mengingat Kembali Gerakan Seni Rupa. Hendro Wiyanto menulis esai reflektif (opini) tentang gerakan seni di Indonesia pada masa Orde Baru. Esai ini adalah catatan pemikirannya setelah Seminar Gerakan-gerakan Seni Rupa pada Masa Orde Baru di Institut Teknologi Bandung, Maret 2013. Pada esai ini, ia memosisikan diri sebagai pengamat seni rupa (dan bukan kurator) walau ia juga menjalankan profesi kurator.
  • Harian Kompas, Minggu, 4 Maret 2012, Pameran Kertas Bernapas. Enin Supriyanto menulis ulasan pameran hasil residensi Handiwirman Saputra di Singapore Tyler Print Institute. Pada ulasan ini, ia memosisikan diri sebagai kurator.
  • Harian Kompas, Minggu, 11 September 2011, Salam Kaprah Istilah “Seniman”. Aminuddin TH Siregar menulis kritik terhadap penggunaan terma “seniman”. Dalam kritik ini, ia memosisikan diri sebagai pengajar Institut Teknologi Bandung. Tanggapan atas kritik ini dituliskan Yuswantoro Adi (seniman) dan Wayan Kun Adnyana (mahasiswa program doktor Institut Seni Indonesia).
  • Kesemua nama dalam tiga contoh saya di atas juga melakukan kerja kurator. Sebagian besar malah menjalani kekuratoran sebagai sebuah profesi. Namun, dalam tiap naskah, mereka (secara sadar) menandai peran apa mereka ambil saat menuliskan naskah mereka tsb di media massa.
  • Dengan demikian, persoalan yang Anda ajukan menjadi terbagi dua:
    • Media dan soal kode etik jurnalistik (dalam kaitannya dengan apa yang Anda sebut sebagai konflik kepentingan apabila kurator menuliskan kritik);
    • Entitas seni rupa dan kesetiannya terhadap profesinya sendiri (apakah sebagai seniman, kurator, pekerja, manajer, galeris, kolektor, peneliti, pengamat, dst).

Menurut Anda, bagaimana kondisi kritik seni rupa kontemporer saat ini?

Menurut saya, tidak ada kritik seni rupa Indonesia setelah Sanento Yuliman meninggal. 

Menurut Anda, apakah fungsi dasar dari kritik jurnalistik seni rupa bagi perkembangan seni rupa kontemporer?

Apa yang sedang Anda tanyakan? Kritik jurnalistik? Kritik seni rupa dalam media massa? Jurnalisme sebagai kritik seni rupa? Lagi-lagi, ketiganya adalah hal yang berbeda. Apabila pertanyaan Anda tentang kritik jurnalistik, saya tidak bisa berpendapat apa-apa karena ini bukan wilayah kerja saya. Apabila pertanyaan Anda soal kritik seni rupa dalam media massa, sila tengok jawaban saya di nomor sebelumnya. Apabila pertanyaan Anda menyoal jurnalisme sebagai kritik seni rupa, saya tidak setuju akan hal ini. Menurut saya, tidaklah etis seorang wartawan memberikan penilaian (kritik adalah penilaian bukan sekadar ulasan) atas (perhelatan/pameran/karya) seni rupa. Sebab-sebabnya, sila kembali ke kode etik jurnalistik. Pada hakikatnya, pemberitaan di media massa bertugas menyampaikan kebenaran (ini bisa juga berupa ulasan buruk terhadap sebuah perhelatan/pameran/karya seni rupa yang memang buruk). Namun, kritik seni rupa bukan soal menuliskan ‘kabar’ buruk. Ada sejumlah kaidah formal dan kesejarahan yang menjadi pilar-pilar penulisan kritik. Oleh karena itu, penulisan kritik (seni rupa atau bidang lainnya) hanya bisa dilakukan para ahli di bidangnya.

Menurut Anda, apakah tulisan kritik di media massa (khususnya media massa cetak) berpengaruh pada tingkat penjualan karya seorang seniman di pasar seni rupa kontemporer?

Menambahkan elemen pasar dalam soalan yang Anda ajukan ini, hemat saya, hanya akan membuat hal-hal menjadi rumit. Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, bagaimana kalau Anda menjawab dulu sejumlah pertanyaan saya di atas?

Menurut Anda, bagaimanakah peran media massa saat ini (khususnya media massa cetak) dalam perkembangan wacana seni rupa kontemporer?

Untuk ini, saya akan berikan ‘statistik kasar’ yang berbasis pada ingatan saya akan pengalaman membaca media massa. Saya hanya berlangganan majalan mingguan Tempo dan harian Kompas.

Dalam sebulan, katakanlah rata-rata empat edisi, Tempo punya kolom seni rupa hanya dalam tiga edisi. Paling tidak, satu dari tiga edisi itu menulis tentang kegiatan seni rupa yang berlangsung di Komunitas Salihara (komunitas seni asuhan penggiat Tempo). Dua edisi lainnya berupaya melaporkan kegiatan seni rupa di nusantara.

Sementara Kompas (hanya edisi Minggu yang mempunyai kolom seni), katakanlah rata-rata empat edisi dalam sebulan. Probabilitasnya sama dengan Tempo. Tiga dari empat edisi menulis tentang seni rupa. Satu dari tiga edisi tersebut menulis tentang kegiatan seni rupa yang berlangsung di Bentara Budaya (ruang seni asuhan Kelompok Kompas-Gramedia) di beberapa kota di Indonesia.

Hemat saya, media massa adalah sebentuk kekuasaan (yang mengusung kepentingan tertentu) dalam perkembangan seni rupa. Demikian juga penguasa lainnya (galeri, kolektor, ruang-ruang seni). Internet bisa jadi pilihan ‘kebebasan’ bagi yang berminat mencarinya.

Terimakasih sekali sudah sangat membantu saya memahami hal ini. Berdasar pada penjelasan Mbak Grace, saya tertarik untuk memahami bagaimana pandangan Mbak Grace tentang keterkaitan antara ulasan pameran seni rupa di media massa dengan pasar seni rupa kontemporer, khususnya dari segi pengaruhnya pada tingkat penjualan karya seorang seniman. Sehingga, pertanyaan terakhir saya adalah sebagai berikut: Menurut Mbak Grace, apakah ulasan pameran seni rupa di media massa (khususnya media massa cetak) berpengaruh pada tingkat penjualan karya seorang seniman di pasar seni rupa kontemporer?

Saya rasa tidak ada hubungan langsung antara ulasan pameran di media massa dengan tingkat penjualan karya seniman. Nyoman Masriadi dan Samsul Arifin, misalnya. Dua seniman yang tingkat penjualannya termasuk 10-besar di Indonesia ini tidak mempunyai rekam jejak penulisan yang baik (apalagi banyak) di media massa. Sementara sejumlah perhelatan seni rupa dengan prosentasi tingkat eksposur media massa (cetak) yang termasuk tertinggi dalam sejarah seni rupa kita semuanya tidak melibatkan transaksi jual-beli. Sebut saja, misalnya, Gerakan Seni Rupa Baru (1975, 1977, 1979, 1987, 1989); Seni Kepribadian Apa (1977); Binal Eksperimental Arts (1992); dan Biennal Jakarta IX (1993). (Anda bisa cek lagi kuantitas dan kualitas pemberitaan terhadap perhelatan-perhelatan ini.)

Apabila mau melihat hubungan-tidak-langsung antara penulisan di media massa dengan penjualan, yang mesti Anda telusuri adalah soal pencitraan. Tapi, hemat saya, ini belum masuk akal untuk dilakukan di Indonesia karena absennya peran negara sebagai pusat pengatur dan penyalur kekuasaan. Hanya spekulasi yang bisa dilakukan.

Begitu, mbak. Semoga membantu! 🙂

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: