Grace Samboh (ko-kurator) Bayangan awalnya, bakalan kayak apa sih bentuk pameran ini?
Bambang ‘Toko’ Witjaksono (kurator) Ya, selain ada komik dalam bentuk buku itu sendiri, ya ada macam-macam “produk”. Artinya “produk” apapun yang bukan buku komik itu sendiri. Bisa ada instalasi, kaos, toys, digital print, video, lukisan, dst. Apapun di sini artinya bisa aplikasi komiknya dalam bentuk lain, bisa merchandise atau yang sifatnya mendukung si komik, atau bisa juga pengembangan bentuk dari si komik itu sendiri.
Apa tujuan pameran ini?
Pameran ini bertujuan untuk melihat perkembangan komik sehubungan dengan persinggungannya dalam medan seni rupa yang sekarang sedang marak dengan kecenderungan karya-karya yang disebut “lukisan komikal”.
Kenapa pameran komik?
Ya, awalnya dari obrolan. Terus, selain salah satu ketertarikanku memang komik, sekarang muncul tren lukisan yang sering disebut “lukisan komikal”. Padahal itu sebenarnya ya lukisan-lukisan naratif. Nah, aku pengen menunjukkan karya-karya yang punya akar yang jelas. Karya-karya yang senimannya memang dari awalnya bikin komik dalam bentuk yang paling standar.
Dalam konteks indonesia, apakah bentuk karya yang disebut “lukisan komikal” ini bentuk baru?
Secara penyebutan, ya; artinya kira-kira kemunculan istilah ini “lukisan komik” dalam ranah pasar kira-kira akhir 2006-an. Seangkatan sama low-brow-art yang juga mulai populer di masa-masa itulah. Padahal, sebelumnya bukan belum ada gejala “lukisan komik” ini.
Maksudnya? Dari dulu sudah ada gitu sebenarnya jenis-jenis lukisan seperti ini?
Yah, sekitar awal 2000-an, Nano [Warsono] pernah menuliskan kegelisahan komikus tentang para seniman yang melukis dengan gaya komikal, berkesan ilustratif, naratif, memakai ikon-ikon komik, menggunakan teks atau bahasa verbal berupa tulisan atau balon kata. Waktu itu Nano mempertanyakan apakah ini komodifikasi seni komik menjadi “fine art” atau “high art”. Kalau dia bisa menuliskan itu kan ya artinya di tahun-tahun segitu berkembang juga lukisan-lukisan bergaya komik ini; ya, cuma belum disebut sebagai “lukisan komik” saja waktu itu.
Memang zaman segitu kayak apa sih scene komik? Mas nano bukannya termasuk seniman “lukisan komik” juga?
Ya, tapi di zaman segitu Nano masih getol bikin komik dalam bentuk yang paling standar, atau dalam bentuk yang paling kita kenal, yaitu buku. Entah itu fotokopian, sablonan, atau gimanalah; yang pasti komiknya berbentuk buku. Awal 2000-an kan masih hits-hitsnya komik indie berkembang di Jogja (dan beberapa daerah lain). Dan, waktu itu, yang dikritik oleh Nano ya para seniman yang nggak punya sejarah bikin komik terus tiba-tiba karyanya mengambil elemen-elemen dasar komik dan dipakai dalam lukisan-lukisan mereka.
Emang kayak apa sih ranah komik di negara kita?
Kalau pada 60-70-an komik nasional kita ramai, 80-an kan kita semacam kehilangan penerus, nggak ada lagi tuh komik-komik lokal yang laris dan dicari orang. Sebenarnya mulai awal 90-an komik ini hidup lagi, walau nggak panjang umurnya. Ada Qomik Nasional (QN) yang lahir di bandung sekitar 1992, menerbitkan komik-komik karya komikus lokal namun isinya cenderung mirip dengan komik yang di tahun-tahun segitu laris dikonsumsi orang; ya antara komik jagoan gaya Amerika (Marvel, dll) atau kisah-kisah kehidupan dengan gaya gambar ke-Jepang-jepangan atau yang sekarang populer sebagai manga.
Pada 90-an juga, komik indie mulai bernafas di Jogja. Yang paling lawas tuh Core Comic (yang dipelopori Athonk [Sapto Raharjo]) pada 1995, kemudian ada Apotik Komik (aku, Popok Triwahyudi, Samuel Indratma, dan Arie Dyanto), lalu di 2000-an ada Eko Nugroho dan Daging Tumbuh-nya yang mempengaruhi geng-geng komik yang masih bertahan sekarang, misalnya Mulya Karya (Yudha Sandy, Timbul [Daniel Cahya Krisna], dan Panca Nugraha Wirawan).
Oh, jadi pameran ini berangkat dari semangat komik indie gitu maksudnya ya? Emang kayak apa sih semangat komik indie itu?
Ya, komik-komik yang bertujuan melawan hegemoni komik mainstream rasanya iya. Karena anak-anak secara ideologis menerbitkan komik indie sebagai bentuk pembeda. Pembeda dari pemahaman bahwa komik harus yang berjajar di sebuah rak-rak toko buku, komik hanya menjadi dunia hiburan yang penuh canda-tawa di lingkungan anak-anak.
Berarti pemilihan seniman yang diundang dalam pameran ini bukan karena intensitas mereka bikin komik ya?
Bukan; tapi lebih karena kesadaran mereka bahwa komik adalah salah satu media yang dipilih untuk berkarya, berekspresi, menyampaikan pesan. Juga karena mereka memang punya sejarah berkomik di ranah seni rupa.
Siapa saja seniman yang diundang?
Athonk, Sam, Arie, Popok, Ismail, Benk Rahadian, Iwank, Timbul, Leos, Anto Motulz, Pidi Baiq, Ugo Untoro, Tatang, Sandy, Surya Wirawan, Marbeb, Dani Agus Yuniarto, Panca, Wedhar Riyadhi, Eko Nugroho, Codit…
Berarti semua seniman-seniman itu berkomik ya?
Iya; walaupun ada juga yang nggak diperbanyak dan disebar, kebanyakan disebarkan dalam bentuk fotokopi .
Mereka semua latar belakang pendidikanya seni rupa nggak sih?
Kebanyakan berangkat dari lingkungan pendidikan tinggi seni rupa, secara otomatis memiliki kebiasaan bebas berekspresi (individual) yang mengadopsi komik sebagai bagian dari medan kreatifnya.
Kalau Delsy Sjamsumar, si komikus lawas itu, dia juga punya latar belakang seni rupa? Emang seperti apa sih komik/semangatnya dulu?
Nggak sih, tapi dia lalu belajar sama Wakidi (seniman sumatra pada era mooi indie). Hikmat Darmawan pernah menulis soal dia dengan cukup komprehensif (kutip). Dulu tuh dia yang bikin logo pertamina yang kuda laut, logo Bouraq Airlines, logo majalah kartini, ya dia desainerlah pada masanya. Bahkan si logo rumah makan padang yang bentuknya hampir semua sama itu, menyerupai atap rumah minang, yang pertama kali bikin ya dia itu, si delsy sjamsumar. Dia bikin poster film juga, jadi direktur artistik di sejumlah film layar lebar, memelopori efek-efek tipuan dalam film, ilustrator di berbagai majalah, ya multitalented-lah. Semangatnya ya semangat senimanlah; apapun bisa jadi medianya untuk berekspresi.
Seniman-seniman dalam pameran ini aktif di ranah seni rupa juga nggak sih?
Nggak semuanya masih aktif di ranah seni rupa, tapi mereka punya semangat yang sama: semangat indie. Misalnya Eko Nugroho bikin karya patung, instalasi, atau apalah, dia selalu bikin dengan caranya. Artinya dia nggak begitu peduli pakem-pakem teknik yang ada (misalnya teknik lukis atau yang lainnya).
Mereka yang aktif, karya-karya nonkomik-nya kayak apa?
Pada umumnya ya memang naratif; entah itu ada karakternya, berupa penggalan adegan, kolase adegan, atau tokoh-tokoh komik.
Ada kemungkinan nggak untuk kondisinya dibalik? Misalnya komikus (dalam arti pembuat buku komik/komik cetak) generasi terkini itu berkarya dengan media lain?
Kecenderungannya nggak, karena semangat dan kesadarannya berbeda. Para komikus ini berangkat dari pilihan media mereka (yaitu komik) untuk berkarya. Medianya yang dipilih. Dalam konteks ini, para komikusnya memang lebih bersinggungan dengan ranah media (massa).
Jadi, apa yang ditawarkan pameran ini?
Lewat pameran ini, paling tidak kita bisa melihat penampang di dua dunia: komik dan art-world. Dua dunia yang selama ini seolah-olah terpisah, meski beberapa tahun terakhir anggapan semacam tadi sudah terpatahkan. Asumsinya adalah beranjak dari kegiatan produksi komik (buku komik), yang setelahnya akan dipikirkan kegiatan post-productions nya, dan arahnya adalah ke masalah pemasaran (menjual buku komik tersebut). Nah, katakanlah bahwa dalam pameran ini menjadi semacam bentuk kegiatan post-productions, atau semacam membuat merchandise atau memindahkan bagian dari komik tersebut menjadi sebuah karya baru. Aplikasinya bisa dalam wujud lukisan, drawing, digital print, toys/patung, baik yang fungsional maupun menjadi pajangan semata. Dan, untuk membatasi kerangka kuratorial, pameran ini sengaja (hanya) mengundang para seniman yang pernah atau masih aktif membuat komik (buku komik).
Comical Brothers
Kurator: Bambang ‘Toko’ Witjaksono
Ko-kurator: Grace SambohGaleri Nasional Indonesia
22-30 March 2010Organized by Andi’s Gallery, Jakarta, Indonesia