Salah satu dari beberapa alasan prinsipil saya untuk tidak percaya agama adalah karena komersialitas kemasannya. Sekarang memang era di mana ideologi adalah salah satu komoditas yang sangat menjanjikan. Sebagai salah satu ideologi yang dipilih untuk dipercaya (diimani, diyakini, atau di-i lainnyalah), agama dijalani pemercayanya berikut dengan segenap konsekuensi dan atribut yang ada di seputarnya. Saya bukan mengatakan bahwa agama itu hanya kemasan. Tentu tidak. Seperti halnya ideologi yang lain, esensi agama jelas bukan pada kemasannya.
Foto oleh dikumpulkan dari berbagai hasil pencarian Google dengan kata kunci “bling-bling cross” dan “Moslem gown”.
Masyarakat kontemporer kerap mengemas ideologi mereka ke dalam bentuk-bentuk yang ‘sedemikian-rupa-menariknya’. Kadang, Anda bukan hanya tak lagi bisa membedakan yang mana yang industri atau yang mana yang kolektivitas; tapi Anda juga tak bisa lagi membedakan yang mana yang tulus dan yang mana yang tidak.[i] Menurut saya, lebih baik tidak berteriak-teriak anti ini-dan-itu dan melakukan semampunya (misalnya Bike to Work); daripada repot-repot menggelar konferensi anti pemanasan global dalam aula berpenyejuk-ruangan yang ‘membuang’ sekian ribu watt tenaga listrik (seperti UNFCCC di Bali 2007 kemarin). Yang terakhir ini, kalau menggunakan istilah-gaul 90-an, pantas disebut omdo (omong doang).[ii]
Demikian juga agama. Agama kerap dikemas dalam bentuk-bentuk komersial yang menjual janji palsu; misalnya, Solusi (tayangan spiritual Kristen di SCTV), Tak Ada yang Abadi (drama reality show berbasis ajaran Islam di RCTI), berbagai pusat layanan SMS keagamaan, dan masih banyak lagi. Saya bukan ingin mengatakan apa yang ditayangkan Solusi itu kebohongan belaka, demikian juga Tak Ada yang Abadi, dst. Hanya saja, bentuk kemasan mereka yang mirip dengan Playboy Kabel atau Termehek-mehek membuatnya sama-sama menjadi komoditas stasiun TV ¾yang ibadahnya adalah rating dan tuhannya adalah pengiklan. Sementara (sebagian dari) kita tahu bahwa acara-acara model Playboy Kabel dan Termehek-mehek adalah rekayasa demi rating (yang lagi-lagi UUD ¾ujung-ujungnya duit).[iii] Bukankan esensi agama ada di keimanan diri sendiri pada tuhan? Ini baru dilihat dari tayangan TV, belum dari sisi lain.
Beberapa waktu lalu, sekelompok teman saya menyayangkan komersialisasi nasionalisme yang dilakukan beberapa pihak di #indonesiaunite (salah satu bentuk kolektivitas yang mengusung keindonesiaan di Twitter). Beberapa pihak yang dimaksud membuka sebuah toko yang menjual merchandise bernada nasionalisme ¾katakanlah misalnya kaos merah-putih. Saya hanya bisa tersenyum. Saya sadar bahwa komersialisasi bisa terjadi bukan hanya di industri produk konsumen atau ideologi (seperti yang saya contohkan di atas). Hari gini, justru yang radikal ¾dan yang ‘radikal’¾ itulah yang menjual.[iv] Memang bukan hanya fanatisme terhadap Manchester United atau band-band besar yang bisa dijual, fanatisme terhadap negara juga bisa. Fanatisme terhadap agama saja sudah jelas-jelas diakomodasi. Lihat saja berapa banyak toko baju Muslim hari gini?
Foto oleh Jim Allen Abel.
“Islam adalah fesyen lagi in sekarang,” ujar salah seorang teman (AK) ketika ditanya tamu-asingnya soal keramaian tabuhan gendang warga Jl. Prawirotaman, Yogyakarta, sekitar seminggu sebelum lebaran 2008 lalu. Ya, mereka memang sedang latihan untuk berparade saat malam takbiran. “What do you mean fashion?” iapun dicecar si teman-asing. Ia hanya tertawa, dan sayapun mencontohkan satu cerita. Di hari yang sama, salah satu teman-asing kami yang lain mampir ke sebuah toko busana Muslim tak jauh dari Wijilan. Ia bermaksud membeli oleh-oleh untuk keponakannya; ia berhenti di sana karena toko itu padat dipenuhi orang-orang berbelanja dan parkiran motor di depannya pun semrawut. Kontan ia berpikir kalau tempat itu adalah tempat berbelanja baju yang sangat populer. Untuk menjelaskan setengah lusin jilbab kecil warna-warni yang dibelinya, ia bercerita dengan antusias, “There were moms carrying little girls with this cute head-scarf! Many of them! And, they were so cute! So Indonesian! So, I thought I’ll buy a few for my niece!”
Meminjam istilah gaul beberapa tahun lalu: Gubrak…
“But it is one of your country’s legitimate religion, right? I believe that Indonesia has the biggest Moslem population,” lanjut si teman-asing yang bertanya soal latihan untuk malam takbiran tadi. Kami terpaksa ngobrol cukup serius selama beberapa menit untuk menjelaskan hal ini. Indonesia termasuk lima besar negara dengan populasi terbanyak di dunia; Islam adalah agama mayoritas di sini; tak heran kami adalah negara dengan populasi Islam terbesar; tapi, kami bukan negara Islam, kami negara demokrasi; bahwa akhirnya Islam menjadi fesyen ¾dan sepakbola lebih tepat disebut agama, menurut AK¾ itu sebuah pernyataan yang empirik, kalau bukan asumtif. Artinya, pengalaman sehari-harilah yang menimbulkan pernyataan macam itu. Mulai dari sejumlah tayangan di TV, cara orang-orang menggunakan atribut keagamaan, sampai cara berbagai lembaga keagamaan mengampanyekan agamanya masing-masing.
Sekarang adalah era berjayanya budaya digital dan visual. “Cogito ergo sum,” Descartes sudah berkembang menjadi “I am seen and I see that am seen,” kata Nicholas Mirzoeff.[v] Maka, beragama bukan lagi tindak yang dilakukan di dalam diri (dan kepada tuhan semata), namun lebih kepada lingkungan sekitar. Tentu saja saya sedang menggeneralisasi; saya tetap masih bisa mengatakan bahwa orang-orang yang tidak demikian masih ada. Namun, karena pada umumnya tindak beragama dilakukan dengan kesadaran (sekaligus untuk) dilihat lingkungan, maka atribut keagamaan menjadi elemen penting dalam beragama. Dengan kata lain, menggunakan jilbab bisa jadi bukan perihal pilihan hidup. Bisa jadi hanya sekadar diwajibkan sekolah atau menghindari terik mentari negara tropis ini atau hanya karena teman-temannya berjilbab semua.
Maka, sekarang saya tak lagi menggelengkan kepala ketika mendengar RBT (ring back tone ponsel) lagu rohani atau adzan berbunyi melalui ponsel. Mungkin saya termasuk konvensional, karena saya yang hidup di era digital dan visual seperti sekarang ini masih saja menganggap kalau kepercayaan akan tuhan (apapun bentuk dan metodenya) ada dalam diri. Apapunlah. Yang pasti, ini adalah salah satu (dari sekian) alasan saya tidak percaya agama. Apa bedanya dengan percaya iklan? Padahal nyaris semua orang bisa memaki iklan penipu.
[i] Menyejajarkan kedua kalimat di atas bukan berarti industri itu pasti tidak tulus dan kolektivitas pasti sebaliknya. Lihat misalnya Body Shop; kecintaan, pemiliknya, Anita Roddick pada lingkungan diimplementasikannya melalui perusahaan kosmetiknya itu. Lihat bagaimana Body Shop menjadi perusahaan pertama yang menolak menggunakan bahan yang diujikan pada binatang; perusahaan pertama yang mendukung fair trade dengan negara-negara dunia ketiga; keterlibatan mereka dalam kampanye lingkungan bersama Greenpeace dan The Big Issue; dan lainnya. Body Shop tidak berteriak-teriak sebagai perusahaan yang anti ini dan itu, namun mereka melakukan semampu mereka. Katakanlah, misalnya, mereka masih menggunakan plastik sebagai bahan dasar kemasan produk mereka, namun mereka memberikan penghargaan (baik dalam bentuk potongan harga maupun hadiah-hadiah kecil) bagi konsumennya yang mengumpulkan kemasan bekas produknya ke ritel mereka untuk didaur-ulang. Fakta bahwa Body Shop termasuk dalam kategori ‘industri’ ¾walau ini bukan pengategorian yang ‘asyik’¾ tidak membuat mereka tidak tulus.
[ii] Sekadar contoh lain, demonstrasi anti-kapitalisme (baik lokal maupun global) yang kerap dilakukan di awal 2000-an; anti-kapitalisme kok demonstrannya bercelana jeans, sibuk memijit ponsel, dan teriak menggunakan toa (megaphone)? Kan semua itu produk kapitalis?
[iii] Sayangnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak punya posisi yang didukung negara untuk melarang acara-acara macam ini. Bahkan ketika dikecam sebagai acara yang membohongi masyarakat (karena dramatisasinya) dan KPI menyarankan Termehek-mehek untuk mengategorikan diri sebagai drama reality show, rumah produksinya bisa dengan mudahnya ngeles dengan bilang “AC Nielsen tidak punya kategori itu.”. Lihat “KPI Nilai Termehek-mehek Bohongi Penonton” dan “KPI Tegur empat ‘reality’ show” di situs Antaranews.com
[iv] Penerbit Antipasti sudah mengeluarkan sebuah buku berjudul Radikal itu Menjual (2009), karangan Joseph Heath dan Andrew Potter, yang diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan Paramita Ayuningtyas Palar.
[v] Nicholas Mirzoeff, “The Subject of Visual Culture” dalam The Visual Culture Reader 2nd Edition (USA: Routledge, 2002: 10).