Mengaku mahasiswa beragama kok bisa-bisanya demonstrasi dengan ‘teriakan’ Go to hell!!! Sumber: Koran Tempo, Kamis, 3 September 2009. <Foto oleh: Grace Samboh>
Sialnya, saya sudah terlalu apatis terhadap media massa kita. Kasus penembakan di Temanggung kemarin misalnya; media massa tak ragu-ragu mengklaim bahwa rumah di yang ditembaki Densus 88 dihuni oleh gembong teroris yang sudah sekian lama dicari-cari. Berita bahwa yang mati ditembaki Densus 88 adalah Noordin M. Top muncul sebelum POLRI melakukan tes DNA —mungkin, mereka bahkan belum berencana. Belakangan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa yang mati dihujani sekian ratus peluru itu orang lain. Kasus itu tidak berarti Densus 88 salah target; wong Kepala Kepolisian RI saja tak pernah menyatakan bahwa targetnya adalah teroris asal Malaysia itu.
Ya, media massa kita memang (pada umumnya) asumtif. Ini bukan berarti saya percaya objektivitas atau netralitas. Sama sekali tidak. Punya impian bahwa hal semacam itu eksis saja saya belum pernah kok. Komentar macam, “Mungkin, mereka salah nama,” pernah muncul dalam benak saya. Namun, sungguh mengecewakan bahwa mereka memang bukannya salah nama. Faktanya, (kebanyakan) media massa kita memang asumtif. Lebih buruknya lagi, asumsi mereka nyaris tak berdasar. Benar bahwa 1 + 1= 2, maka 2 – 1 = 1. Benar juga bahwa Noordin M. Top = teroris, tapi kalau teroris = Noordin M. Top, nanti dulu! Belum tentu, bung! Realita bukanlah matematika.
Yah, media massa kita masih banyak kekurangannya. Secara diksi misalnya, banyak yang luput dalam penggunaan kata “kita” dan “kami”. Atau, secara preferensi pemberitaan, media massa pernah lebih mengedepankan simpang-siur kolor ijo ketimbang isu pemilu yang saat itu sedang panas-panasnya. Nah, karena itu (dan banyak hal lainnya), saya curiga terhadap pernyataan di media bahwa Malaysia lagi-lagi mengklaim kekayaan budaya kita; dan korban kali ini Tari Pendet.
Hari itu juga, saya merasa diteror oleh bersliwerannya cacian dan makian para bloggers, Tweeters, dan Facebookers. Respon mendadak-nasionalis mereka bagi saya tak ubahnya bapak-bapak yang tega saja membakar orang hidup-hidup hanya karena ada suara yang meneriakinya “Maling!” Memangnya di mana posisi hukum di negara ini? Apa masyarakat yang model itu memang tak lagi percaya pada hukum yang melindungi mereka di negara ini? Tak percaya negara kok masih saja sempat tweeting atau gonta-ganti status, apalagiblogging, soal kekayaan budaya negeri kepulauan kita? Tak percaya negara kok ya bisa-bisanya mengaku nasionalis?
Di Kompas, 30 Agustus kemarin, Amir Sidharta menuliskan analog-analogi yang menarik soal penggalan Tari Pendet dalam iklan yang dituduh sebagai promosi pariwisata negeri jiran, Visit Malaysia. “Chopin pasti tidak akan keberatan mendengar Chopin Larung-nya Guruh Gypsy atau Afrika Bambaata pasti bangga mendengar hip-hop Jawa ala Jogja Hip-hop Foundation,” demikian beberapa contohnya. Dalam publikasi versi non-edit tulisan Sidharta di Facebook, perupa Teguh Ostentrik menyetujuinya dan berkomentar, “ Aku dahcapek mendengar orang Indonesia kok hanya bisa mencaci maki. Seperti anak kecil yang kehilangan bonekanya …” Ya, saya memang juga berpikir kenapa musti marah kalau hanya dicuplik dalam penggalan iklan film dokumenter Malaysia?
Toh tidak ada dari masyarakat mendadak-nasionalis itu yang bersikap kritis terhadap iklanVisit Indonesia yang kerap menampilkan barongsai Cina? Ketika secara spontan saya menyampaikan pendapat saya ini kepada seorang teman, ia menjawab dengan sinis-tapi- logis. “Cina bukan cuma punya komunitas di Indonesia, Nona, mereka hidup di sini sudah sejak kapan tau!” Tentu saya harus sepakat. Saya tak bisa berkomentar lagi karena saya tak tahu apakah orang-orang Bali punya komunitas di Malaysia, apakah Tari Pendet dihidupi oleh salah satu komunitas di negeri jiran itu, apalagi apakah ada sekelompok bangsa Malaysia yang berasal dari Bali. Saya tidak riset soal itu dan, ya, saya memang penulis blog yang malas.
Pun demikian, jikalau saya berasumsi, berpendapat, atau menganalisis sesuatu, saya pasti memberikan argumen yang mendasarinya. Entah argumen itu dinilai (pembaca) cukup kuat atau tidak, tapi saya selalu memberikannya. Dan, ketika memublikasikan tulisannya, saya terbuka pada setiap komentar, kritik, dan saran yang mungkin muncul. Rasanya, itu dia masalahnya dengan media massa kita. Bukan maksud saya untuk sombong atau apalah, hanya saja, saya menyayangkan kenyataan bahwa model kesadaran itu tak tampak dalam (kebanyakan) media massa kita. Sehingga, walaupun berita yang pernah disiarkan ternyata salah, (kebanyakan) media massa kita tidak punya kesadaran untuk mengakui kesalahannya. Jangankan minta maaf pada sekian banyak masyarakat yang setia memercayainya, sekadar mengakui kesalahan saja mereka tampaknya tak sudi.
Mungkin sekarang waktunya mempertimbangkan kesetiaan dan kepercayaan masyarakat —ternyata berat bagi saya mengunakan kata ini kalau konteksnya negatif. Dalam kasus Tari Pendet (dan produk-produk budaya lain), apakah masyarakat Indonesia memang sedemikian pedulinya pada kekayaan budaya bangsanya? Mari kita tilik hasil penelitian LITBANG Kompas yang dipaparkan Senin, 31 Agustus lalu. Sebanyak 866 orang dari 10 kota menjadi responden penelitian ini. Benar bahwa 97,6 persen mengaku bangga akan kekayaan budaya lokal mereka. Namun, responden yang tahu-sedikit soal itu hanya 62,4 persen.* Apakah berarti sisanya tahu-banyak? Entah, Kompas tak memaparkanya. Namun, saya berasumsi bahwa sisanya lebih tak tahu lagi.
Akan asumsi itu, alasan saya masih berasal dari hasil riset LITBANG Kompas. Katanya, hanya 49 persen yang berpendapat bahwa masyarakat bisa turut melestarikan kekayaan budaya lokal dengan mencintai produk-produk lokal, mengurangi konsumsi barang impor, serta ikut aktif mendidik generasi muda. Ke mana sisanya? Entah, mungkin sisanya adalah tipe-tipe yang lebih memilih untuk ngopi di Starbucks daripada di Blandongan, walaupun dalam hal cita rasa kopi Blandongan 10 kali lebih enak. Saya sih juga akan memilih Starbucks daripada Blandongan; namun, selain jelas tak akan memesan kopi, saya juga sadar bahwa mahalnya green tea frappuccino itu saya bayar atas nama kenyamanan tempatnya untuk nongkrong. Kalau soal kopinya, saya sih lebih rela jauh-jauh bermotor di bawah panasnya matahari Yogyakarta demi membeli bubuk kopi Blandongan daripada keluaran Starbucks.
Saya bukan mau mengaku nasionalis, apalagi dalam hal produk yang saya konsumsi sehari-hari. Tapi, saya sadar bahwa saya bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan kekayaan budaya kita yang sangat-sangat potensial itu —apabila disikapi negara dengan lebihnggenah. Ah, saya tidak akan membahas soal pemerintah yang kerap tak sukses mengelola kekayaan bumi pertiwi kita. Perkaranya, jangankan produk budaya yang konon intangibleitu; rempah-rempah dan kekayaan hasil bumi kita yang jelas yang (aset dan) omsetnya saja tak sedikit yang dikuasai negara lain. Nah, kalau 51 persen masyarakat kita, yang setia dan percaya pada media massa itu, ternyata tidak sadar bahwa mereka bisa turut serta dalam proses pelestarian kekayaan budaya, saya jadi tak heran akan menjamurnya masyarakat yang mendadak-nasionalis ini.
Masyarakat kita yang mendadak-nasionalis itu pelit dan taken for granted —saya kok susah mencari padanannya dalam bahasa kita (ada ide?). Pelit bisa jadi kata yang pas, bisa jadi tidak. Tapi, bagaimana saya tidak bilang pelit kalau baru teriak-teriak peduli ketika ada yang bilang kalau barangnya yang hilang. Waktu masih ada, barang itu bak boneka beruang usang yang di taruh di atas lemari di pojok kamar karena pemiliknya merasa sudah terlalu dewasa untuk tidur bersama bonekanya, tidak dipedulikan.
Ketika mendengar berita Tari Pendet diklaim Malaysia, bereaksi secara impulsif sih tak apa. Marah, kesal, sedih, senang, datar, atau apapun, terserah. Tapi, ketika berekspresi di ruang yang lebih terbuka, apalagi ruang publik, mbok ya ditimbang-timbang dulu. Respon-respon impulsif nggak solutif macam Putu Setia lewat tulisan satirnya, mutung (bisa diartikan merajuk) ala Saykoji di Copy My Style-nya yang keminggris, mencaci-maki Malaysia di forum-forum online, bikin situs dengan nama Malingsia, marah-marah lewat #pendetindonesia di Twitter, atau bikin grafiti “Ganyang Malaysia” bukannya hanya mencoreng muka negara kita ya?
Grafiti baru (belum seminggu dari sekarang) di perempatan Plengkung Gading, Yogyakarta. <Foto oleh: Grace Samboh>
Coba bayangkan: misalnya, ada sekelompok “turis budaya” baru saja selesai berjalan-jalan di Kraton Yogyakarta nan eksotis itu. Sebelumnya, mereka mengagumi mural dan grafiti yang banyak dan rata-rata berukuran besar, walau seragam (alias mirip), di sekeliling kota budaya ini. Kemudian, sekeluarnya dari Plengkung Gading, bertanyalah mereka pada pemandunya, “Wow! Another one! Very nice! Is it the same artists’ we saw at the Gondomanan cross? What does the grafiti mean?” Belum lagi membayangkan kalau cacian, makian, dan tweet-tweet di #pendetindonesia atau apalah kemudian di Google-translate. Duh, saya kok malu ya?
Yogyakarta, 2 September 2009
Grace Samboh,
Blogger musiman, bukan reporter apalagi wartawan, karena sadar diri kurang rajin riset.
* Keterangan:
Angka 62,4 persen merupakan rata-rata dari angka-angka yang dipaparkan Kompas berikut: “Dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian (67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.”