Menanggapi Tatum Syarifah Adiningrum dalam Kompas, Sabtu, 13 Juni 2009 lalu, saya setuju kita harus malu akan kenyataan kurangnya peran institusi pendidikan dalam isu plagiarisme. Saya bahkan pernah menemukan seorang teman sekelas saya, yang notabene pascasarjana, menjiplak tulisan dari blog saya untuk dikumpulkan sebagai salah satu tugas kami.
Kejadian itu tak ada urusannya dengan plagiarisme (yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2007, artinya adalah “penjiplakan yang melanggar hak cipta”) karena saya tak pernah mendaftarkan semua karya di blog saya ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Sehingga, secara hukum, sebenarnya si penjiplak tidak bersalah. Bahkan kalau ia cukup iseng mendaftarkannya ke direktorat yang berada dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia itu, sayalah yang akan dituntut sebagai plagiator.
Yang saya tidak setuju dalam tulisan bertajuk Mendidik Masyarakat Sadar Plagiarisme itu adalah, meminjam istilah Adiningrum, “ilmu tradisional” yang diturunkan turun-temurun itu dikatakan menggunakan cara saling jiplak dan tiru-meniru. Budaya kita bertahan turun-temurun dengan cara lisan; bagaimana cara melilit kain kebaya diketahui perempuan dari ibunya, ibunya tahu dari ibunya lagi, dan seterusnya. Apakah budaya lisan yang membesarkan bangsa ini kemudian layak disejajarkan dengan tiru-meniru dan saling jiplak? Saya rasa tidak.
Masyarakat Indonesia bukannya asing dengan isu plagiarisme. Di zaman Ngabehi-ngabehi Kraton masih berbisnis batik, masing-masing pembatiknya dengan sadar membuat motif-motif batik yang berbeda dan unik, walau tetap mengikuti motif pada umumnya (katakanlah parangrusak, dsb). Para pembatik di era itu tahu kalau ia membuat apa yang dibuat oleh pembatik lainnya, masyarakat (dalam hal ini terutama konsumennya) akan tahu siapa yang meniru dan mereka harus menanggung malu.
Tentu semua ini berakhir ketika teknologi batik printing lahir. Mereka toh tak bisa mencegah pabrik-pabrik itu mencetak motif mereka. Selain karena Ditjen HKI tampaknya belum ada pada masa itu, juga karena mereka harus bertahan hidup dengan tidak menghabiskan waktu untuk menyalah-nyalahkan pihak-pihak yang mencetak motif mereka.
Budaya Jawa yang nrimo, membuat akhirnya batik tetap diproduksi dengan semua cara yang mungkin dilakukan sekarang. Mulai dari batik tulis (yang sekarang mahalnya minta ampun) sampai batik cetak/sablon. Paham para pembatik itu kemudian “harus” bergeser menjadi “imitation is the sincerest form of flattery,” yang merujuk pada Charles Caleb Colton (1780 – 1832). Plagiarisme seharusnya adalah bagian dari etika kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Maka, menurut saya, ketimbang hanya berharap para institusi pendidikan itu membuat kebijakan yang baku dan konsisten terhadap isu plagiarisme yang mengacu pada konsep-konsep barat dan terikat pada aturan hukum yang merepotkan, lebih baik melestarikan apa yang sudah dilakukan nenek moyang kita: menghidupkan kembali budaya malu.
Kembali ke sepenggal kisah saya di atas. Saya memang tidak cukup rajin untuk mengadukan ke dosen kami bahwa tugasnya adalah jiplakan dari tulisan saya. Untungnya, sang dosen cukup rajin membaca, sehingga ia tahu bahwa tulisan itu juga dimuat di situs sebuah lembaga pendokumentasian senirupa di Yogyakarta. Si penjiplak yang diam-diam saya coret dari daftar teman saya itupun harus menanggung malu ditegur di hadapan teman-teman sekelas lainnya.
*) Penulis adalah mahasiswa Pengajian Seni Rupa Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.