Suatu sore di Jatiwangi, puluhan, bahkan ratusan orang berdatangan ke sebuah lapangan. Ada yang naik motor, ada yang naik bus, ada yang naik truk. Tak sampai satu jam, lapangan besar itu sudah menampung sekitar 5000 orang. Seperti sudah tahu harus berbuat apa, 5000 orang itu berdiri dalam semacam barisan dan menunggu instruksi untuk melakukan sesuatu. Mereka tidak tampak panik atau gelisah seperti mau demonstrasi atau protes, tetapi semuanya tampak riang gembira dan tak sabar untuk segera melakukan sesuatu. Burung-burung yang terbang di sekitar lapangan besar itu pasti bisa melihat bagaimana perlahan barisan itu membentuk huruf U.
Sebelum huruf U itu menjadi sempurna, tiga orang anak muda naik ke atas semacam panggung yang berada persis di tengah barisan. Mereka mengambil alat musiknya masing-masing dan menyapa ke-5000 orang itu sembari menyetel alat-alatnya. Tak seperti Slank yang menyapa semua orang dengan dengan satu nama (Slankers), atau Dewa dengan (Bala Dewa); anak-anak muda ini menyebut nama dusun atau desa, nama kelompok PKK, nama sekolah, atau nama komunitas yang tergabung dalam keramaian ini. Ketiga anak muda ini seolah mengenal masing-masing dari 5000 orang yang hadir di sana, saat itu. Pikir saya, bagaimana mungkin mengenal sedemikian banyak orang itu satu per satu?
Mereka mengajak semuanya untuk latihan. Ternyata barisan ini ditata berdasarkan komunitas sekaligus alat musik yang mereka mainkan. Di hadapan masing-masing komunitas, ada seorang anak muda di atas panggung rendah yang menjadi pemandu. Latihan pun di mulai. Setengah dari keramaian ini bermain perkusi. Jangan salah pikir dulu. Mereka bukan menabuh drum atau kendang. Mereka menabuh genteng! Ya, genteng keramik. Atau membunyikan pecahan genteng keramik sebagai semacam kecrekan. Sisanya terbagi antara mereka yang meniup alat musik berbahan tanah liat ataupun menabuh kendi bertutup karet, juga dari gerabah.
Ketiga anak muda di atas panggung itu bahkan tidak memperkenalkan diri mereka. Seolah semua orang sudah kenal siapa mereka. Langsung saja mereka berlatih dengan lagu yang asing bagi orang lain selain mereka yang bermain musik. Lagu itu adalah Mars Jatiwangi. Oh! Apakah ini lagu daerah? Bisa jadi. Tetapi ini bukan lagu daerah yang bisa kita temukan dalam buku kumpulan lagu daerah yang wajib kita beli saat kita duduk di bangku sekolah dulu sebab lagu ini baru diciptakan pada 2012 lalu, ketika pertama kali perkumpulan bermusik bersama macam ini pertama kali diadakan.
Salah satu di antara ketiga anak muda di atas panggung itu kemudian mengajak semuanya untuk bersiap. Kemudian acara dimulai dengan ‘Rampak 5000 Genteng’, sebuah komposisi dengan durasi 15 menit di mana 5000 orang menabuh, menepuk, dan meniup alat musik berbahan tanah (liat). Wow!
Ketiga anak muda bersemangat di atas panggung ini adalah Hanyaterra. Mereka adalah sebuah band yang menjelajahi kemungkinan bermain musik menggunakan alat yang berbahan tanah (liat). Setahun yang lalu, 2015, ketika saya bekerja di Jatiwangi bersama banyak teman, ada satu hal yang saya pelajari dari Hanyaterra. “Apapun kondisinya, latihan jalan terus!” Latihan ini artinya bermain musik, menyanyi, memetik gitar dan bass, bernyanyi, menabuh gendang, menulis lirik, mendiskusikan kemungkinan, dan macam-macam… Sementara latihan, bukan hanya anggota band yang hadir, tetapi juga tetangga, pacar, teman dari kota lain, bahkan dari negara lain.
Pun demikian, sulit rasanya membicarakan Hanyaterra semata dari perspektif musik. Bahwa musik adalah alat sekaligus medium yang dipilih Hanyaterra, itu jelas. Tapi, bagi mereka, musik bukanlah semata persoalan musik. Musik adalah wadah di mana mereka saling belajar satu-sama-lain mengenai diri sendiri, orang lain, lingkungan hidup mereka dan bagaimana menghargai kehidupan di ruang hidup mereka sendiri. Hal-hal yang terdengar sederhana ini, sesungguhnya cukup kompleks. Pada hakikatnya, manusia modern terlanjur asejarah dan ‘taken for granted’ pada identitas budayanya. Apa yang ada di halaman dan sekitar lingkungan hidupnya secara turun-temurun, kerap dianggap serta-merta adalah hak mereka. Tentu saja ini benar. Tetapi, sesungguhnya mereka yang berhak juga adalah mereka yang berkewajiban.
Nah, selain sibuk berkeluh-kesah dan protes mengenai kekurangan di sekitarmu dan di ruang hidupmu, apakah kamu mengenal kelebihan lingkunganmu? Apakah kamu punya kontribusi terhadap ruang hidupmu? Sebagai seseorang yang lahir pada 1980-an, saya pikir mengeluh itu hal biasa. Yang sulit justru memuji, apalagi peduli. Yang sulit ini adalah kewajiban itu tadi. Kalau kita merasa berhak atas keuntungan dari sumber daya (alam dan manusia) yang ada di sekitar kita, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaganya untuk bisa diambil oleh anak dan cucu kita? Apa yang bisa kita lakukan untuk menghargainya?
Hanyaterra lahir dan hidup di Jatiwangi, di sebuah wilayah yang bukan perkotaan, tetapi juga bukan pedesaan seperti yang lazim dibayangkan manusia kota (tidak ada listrik, tidak ada Internet, tidak ada pergaulan kosmopolitan). Semenjak seratus tahun lalu, Jatiwangi dikenal sebagai sentra industri genteng keramik. Sekian ribu keluarga di Jatiwangi, hidup dari membuat genteng keramik. Salah satu cara vokalis Hanyaterra, Tedi En, memperkenalkan ruang hidupnya adalah, “Jatiwangi itu landai, nyaris rata. Tidak ada pantai, tidak ada gunung, lalu lintasnya berisik, banyak nyamuk pula! Kayaknya, yang Jatiwangi miliki, ya, hanya genteng! Banyak sekali genteng!”
Sementara kebanyakan anak muda Jatiwangi menolak bekerja apapun yang berhubungan dengan genteng karena bekerja di bank atau Indomaret itu lebih keren dan ‘bersih’, Hanyaterra justru menjadikan genteng dan tanah (beserta segala permasalahannya) sebagai titik tolak mereka berkarya. Dimulai dari memukul-mukul genteng dan menjadikannya sebagai sumber bunyi perkusif, membuat gitar dari genteng, sampai berupaya membuat alat musiknya sendiri menggunakan tanah liat (Okarina Jatiwangi, tambur, gendang, gamelan, dan yang terakhir sedang dicoba oleh Tedi Nurmanto adalah orjel).
Komposisi yang dimainkan oleh ‘Rampak 5000 Genteng’ tadi bukan serta-merta ada dan terjadi. Jalur ‘lain’ yang ditempuh Hanyaterra membuat mereka mesti menjalankan kewajiban atas genteng sebagai warisan kebudayaan, bukan hanya sebagai barang dagangan. Sebelum sampai ke waktu di mana ke-5000 warga benar-benar bisa memainkan komposisi itu, selama tiga bulan Hanyatera beserta teman-teman Jatiwangi art Factory (JaF) mengadakan serangkaian lokakarya, mulai dari pembuatan alat musik dengan bahan tanah, bersama-sama membakar alat musik tanah buatan sendiri itu, dan, yang terakhir, bagaimana membunyikan tanah.
Selama lokakarya itu, bukan semata latihan yang terjadi di antara warga, Hanyaterra, dan Jatiwangi art Factory. Mau tak mau, mereka jadi saling bertukar cerita dan pikiran. Mau tak mau, mereka mengenal satu sama lain dengan lebih dekat. Mau tak mau, mereka jadi punya kesempatan untuk lebih memahami apa yang sedang dipikirkan oleh sesama warga setempat. Selama proses panjang menuju penabuhan 5000 genteng ini, sesama warga jadi berkesempatan untuk melihat genteng tidak serta-merta sebagai komodifikasi wilayah, tetapi juga sebagai warisan kebudayaan yang punya nilai lebih dari sekadar uang.
Bersama Jatiwangi art Factory dan Hanyaterra, kepedulian terhadap genteng serta beragam isu tanah di Jatiwangi dibangun ulang dengan cara pandang dan cara mengalami yang lain sama sekali dengan sebelumnya. Bahwa transaksi jual-beli genteng masih berlaku dan menjadi modal kapital yang kuat di wilayah Jatiwangi, tentu saja. Tetapi bahwa sekarang kembali banyak orang yang bangga mengakui bahwa ia berasal dari Jatiwangi, sentra industri genteng rumahan itu, tidak lepas dari anekdot, “Ada band yang main musik pakai genteng, yang kemarin masuk TV itu, lho!”
Di era di mana dunia seolah makin kecil dan makin seragam seperti sekarang, kebanggaan akan warisan budaya dan identitas wilayah ini adalah sebuah investasi jangka panjang yang tidak serta-merta bisa dibeli dengan uang. Konon, di kafe-kafe di mana musisi menjadi penghibur para filsuf, pernah termaktub, “Kapitalisme akan menemukan mekanismenya sendiri untuk bertahan hidup dan terus hadir. Kapitalisme telah perlahan menghapus kualitas kehidupan manusia membuat manusia menjadi semakin berjarak dengan ekspresinya sendiri. Kalau kita sedikit cerdik, kapitalisme yang laten ini bisa kita jadikan semangat untuk merevolusi kehidupan sehari-hari sembari terus membangun kualitas hidup kita sendiri.”
Singapura, 15 April 2016
Grace Samboh