Reproduksi (dan) Ironi

imagePerformans Mangatas Pasaribu sekaligus membuka pameran tunggalnya di Gedegap. (Foto milik Gedegap.)

Sabtu, 24 Januari, lalu, Mangatas Pasaribu memamerkan ulang karyanya yang bertajuk Tonggo Padao Mara (1994). Pameran ini berlangsung sampai 6 Februari mendatang di Gedegap—sebuah ruang anyar yang ingin mewadahi beragam eksplorasi kreatif muda-mudi setempat. Secara bentuk, bahan, dan presentasi, karya ini sama dengan yang dipamerkannya dalam dua puluh tahun silam di Yogyakarta. Bedanya, sekarang ia mengganti judul karyanya menjadi Terjerembab. Ia juga melakukan seni performans di malam pembukaan untuk menyelesaikan pembangunan ulang karya lawasnya ini.

Sebagai seniman yang mulai berkarya pada 1980an, Mangatas adalah bagian dari sebuah perhelatan yang punya peran penting dalam percaturan seni rupa kontemporer kita: Pameran Rupa Rupa Seni Rupa (1994) di Taman Budaya Yogyakarta. Dalam konstelasi besar Rupa Rupa Seni Rupa itu, ada tiga pameran yang melibatkan 121 seniman: “Biennale Seni Lukis Yogyakarta”, “Pameran Nasional Seni Patung Outdoor”, dan “Pameran Seni Rupa Kontemporer (Instalasi)”. Karya Mangatas, Tonggo Padao Mara, itu menggunakan medium instalasi, maka ia termasuk dalam kategori yang terakhir.

Dua kata terakhir dalam kategori terakhir itu sekarang jelas terdengar lucu: Kontemporer (instalasi). Istilah “kontemporer” memang belum jamak digunakan pada waktu itu. Perupa dan budayawan senior masih sibuk membicarakan seni modern (dalam pengertian Barat), seni modern Indonesia (entah dia jadi Indonesia karena dibuat oleh orang Indonesia atau karena nilai-nilai keindonesiaan yang ada dalam karya secara intrinsik), keindonesiaan dalam karya seni (apakah itu persoalan elemen yang tampak, konsepsi, atau kesadaran), dan seterusnya.

Pada awal 1990-an, seni instalasi bukanlah media yang tergolong baru dalam praktik seni rupa di Indonesia. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI, 1975-1989) yang tersohor itu kerap menggunakan medium ini dalam praktik artistik mereka. Demikian juga sejumlah pameran dan proyek yang melibatkan eksponen GSRBI di berbagai ruang dan kota di negri ini. Untuk menyebut sebagian; ada Pameran Kelompok Kepribadian Apa (PIPA, di Senisono Gallery, Yogyakarta, 1978), Pameran Konsep (di Balai Budaya, Jakarta, 1976), Pameran Tunggal Jim Supangkat (di Bioskop Horison, Bandung, 1979), Pameran Seni Lingkungan (di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, 1982), Pameran PROSES 85 (di Ancol, Jakarta, 1985) dan lain sebagainya.

Namun, lembaga-lembaga besar seni rupa Indonesia bisa dikatakan belum resmi mengakui keberadaan medium ini. Dapat kita lihat dalam perhelatan-perhelatan akbar seni rupa kala itu (biennale, pameran tahunan, festival, pesta seni), lembaga seni rupa yang masih sedikit ini tidak pernah melibatkan karya-karya dengan medium instalasi. Baru pada 1993 “Biennale Jakarta” menjadi pionir untuk setidaknya tiga hal: Perhelatan akbar pertama di Indonesia yang memamerkan karya-karya instalasi, secara sadar menggunakan istilah “seni rupa kontemporer”, dan melibatkan kerja kuratorial.

Yogyakarta yang dianggap salah satu poros utama eksperimentasi seni di Indonesia dianggap terlambat mengikuti perkembangan ini. Para seniman muda melakukan sebuah protes besar-besaran dengan menghelat “Binal Experimental Arts 1992” di sembilan lokasi. Secara terbuka, mereka menuding Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY) sebagai lembaga yang ketinggalan zaman karena tidak mewadahi aspirasi kreatif terkini—secara media maupun usia seniman. Lebih ekstrim lagi, “Binal” diresmikan sehari sebelum BSLY dibuka dan ditutup persis sehari sebelum BSLY.

Efek “Binal” tidak terjadi secara langsung. BSLY kalah pamor di media massa lokal dan nasional. BSLY juga diserbu oleh publik seni rupa karena dianggap tidak progresif. Berikutnya, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menghelat “Rupa Rupa Seni Rupa” (1994) yang kerangka programnya sama dengan BSLY. Baru pada 1997, BSLY resmi berganti nama menjadi Biennale Seni Rupa Yogyakarta (BSRY) dan tidak lagi memisah pamerannya berdasarkan medium. Pada 2003, perhelatan dua tahunan yang diselenggarakan TBY ini berganti nama menjadi Biennale Jogja—sampai sekarang.

Seperti yang dituliskan dalam pengantar pameran, sejumlah tema besar dunia menjadi garda depan dalam karya-karya dengan media non-konvensional pada periode 1980-1990-an, mulai dari permasalahan lingkungan, kesehatan, sampai hak azasi manusia. Menjamurnya pendirian atau pembukaan cabang beragam Lembaga Swadaya Masyarakat dari luar negri menjadi pemicunya. Apalagi, di negara asalnya, lembaga-lembaga ini kerap melibatkan seniman dalam kerja dan kampanye mereka. Karya Mangatas Tonggo Padao Mara (1994) itu secara khusus membicarakan HIV AIDS. Ketiga sedotan dalam kaleng bekas minuman itu menyimbolkan sebuah istilah nakal yang menjamur pada awal 1990an, salome (satu lobang, rame-rame).

Papan catur digunakan Mangatas sebagai analogi kehidupan yang membutuhkan strategi untuk melangkah. Sementara cermin yang berhadapan dalam instalasinya (cermin di bawah menggantikan bidang putih dalam papan catur dan di atas mencerminkan yang bawah), punya makna ganda. Pertama, ia menyoal infinity. Kedua, reflektivitas. Sebagai medium yang belum banyak dieksplorasi pada waktu itu, seni instalasi karya perupa Indonesia bukan hanya menggunakan barang-barang temuan, tetapi juga “simbolisasi temuan”. Maksud saya, simbol yang digunakan sang seniman bukanlah poetika miliknya sendiri, tetapi justru menggunakan—kalau bukan mempermainkan—pemaknaan yang terlanjur ada dalam kehidupan bermasyarakat.

Ada serentetan ironi yang tak terhindarkan. Pertama, ruang yang berniat mewadahi kaum muda ini menghadirkan karya yang sudah tak lagi muda. Hemat saya, muda memang bukan urusan usia, melainkan perkara semangat pembaharuan. Kedua, ruang yang masih terhitung muda ini memancing percakapan perihal sejarah seni rupa kita yang nyaris terkubur, sebab hampir tak ada yang mencatatnya dengan tujuan yang serupa dengan perhelatan yang disinggungnya. Pameran ini menjadi ajang dengan semangat pemapanan kebaruan. Apabila “Binal” adalah gerakan pemberontakan, maka Rupa Rupa Seni Rupa adalah langkah awal yang memapankan semangat-semangat kebaruan yang dikobarkannya.

Ada satu pertanyaan yang terngiang sebab saya tak berhasil hadir dalam diskusinya: Siapa yang terjerembab?

Tulisan ini dimuat di Indonesia Art News.
Mengenai pameran ini, lihat di situs Gedegap.

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: