(For English and Chinese version, click here.)
Sebuah Spekulasi: Lewat Bahasa Terhah, Seni Kembali Jadi Ritual Sehari-hari
“Cengklimuh?”
“Burjuah.”
“Ciknur!”
Obrolan sejumlah mahasiswa di lorong Gedung Seni Grafis di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu dilakukan sambil tersenyum jahil. Sekilas, bahasa yang mereka gunakan seperti bahasa Sunda, apalagi karena lafalnya. Tapi sebenarnya mereka sedang berbahasa Terhah. Bahasa jadi-jadian itu diciptakan kawan mereka sendiri, Syaiful Aulia Garibaldi, yang sejak 2006 menyebarkan sebelas eksemplar kamus bahasa Terhah di kampusnya itu. Sejak saat itu bahasa Terhah jadi lumayan populer sehingga tak jarang terdengar dalam berbagai percakapan di kampus ITB. Aslinya, para mahasiswa itu sedang membicarakan medium cetak. Terjemahannya: “Dengan apa?” “Batu litografi.” “Bagus.”
Seniman Garibaldi memang sedang tidak bercanda. Seniman kelahiran 1985 yang pada 2014 ini mengadakan pameran “Abiogenesis: Terhah Landscape” dan “Interstitial Terhah” ini, dikenal tekun bekerja bersama medium hidup dari mikroorganisme yang tak tampak kasat mata sampai dengan jamur atau pakis. Bahkan ketika mengerjakan sesuatu yang terkesan sebagai guyon seperti bahasa ciptaannya ini, ia sungguh serius menciptakan wilayah di mana sebanyak mungkin orang bisa terlibat dan bekerja bersamanya. Bahasa Terhah pun tak berakhir hanya menjadi milik Garibaldi seorang. Setelah Kamus Terhah disebarkan, teman-temannya bukan sekadar menghafal dan melafal, tetapi turut sibuk menambah kosakata baru untuk bahasa Terhah. Di kampus Garibaldi, bahasa Terhah jadi populer. Garibaldi sendiri dalam periode 2006 – 2011 kerap menggunakan bahasa ciptaannya sendiri itu sebagai judul karya-karyanya.
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kita bisa berargumen bahwa komunikasi bisa dilakukan dengan alat lain, misalnya asap api, bunyi gendang, gambar di gua, dan lain sebagainya; namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa segala pertukaran dan nyaris segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa.[1] Sistem komunikasi bahasa menggunakan penanda-penanda bermakna yang diucapkan atau dituliskan. Ada beragam perdebatan menarik dalam sejarah bahasa perihal hubungan kata dan makna ini. Hasilnya adalah beragam kajian seperti etimologi (timbulnya kata-kata dalam bahasa tertentu) atau onomatope (kata yang meniru bunyi). Namun keduanya sangat tergantung pada pemufakatan masyarakat bahasa yang bersangkutan. Sehingga, seringkali lebih tepat untuk dikatakan bahwa hubungan antara kata dan maknanya bersifat manasuka. Penanda-penanda manasuka ini kemudian disepakati oleh masyarakat bahasa tertentu untuk berkomunikasi. Setelah kesepakatan itu terjadi, bahasa kemudian membudaya.
Di antara masyarakat Bandung yang sehari-harinya menggunakan bahasa Sunda dan Indonesia, Garibaldi, bukan cuma seolah-olah, jadi menambahkan satu bahasa lagi. Negeri Indonesia ini salah satunya memang terkenal karena memiliki banyak bahasa daerah. Sampai 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional mencatat bahwa ada lebih daripada 750 bahasa daerah yang masih digunakan, di luar bahasa Indonesia yang secara resmi memang diajarkan kepada seluruh warga negaranya. [2] Masyarakat bahasa lebih tepat disebut sebagai pengguna (user) daripada konsumen—yang hanya beli, pakai, beli lagi, pakai lagi—sebab mereka serta-merta terlibat dalam perkembangan dinamika bahasa mereka, mulai dari penambahan kata, pengembangan lafal, dan sebagainya.[3]
Di era Internet ini, para pengguna kemudian menjadi agen penyebaran gagasan benda atau merek yang dibelinya melalui dirinya. Benda atau merek itu menjadi bernilai justru karena citra sang pengguna yang ditambahkan padanya. Dalam kasus Garibaldi, masyarakat pengguna itu adalah kawan-kawannya sendiri, yang turut berperan membuat bahasa Terhah saat ini—delapan tahun setelah 2006—memiliki seribu-limaratusan entri kata, yang tercatat dalam Kamus Terhah, lengkap dengan gramatika dan jenis hurufnya sendiri. Sejumlah kata ditambahkan para penggunanya untuk kebutuhan mereka sendiri. Misalnya, wonka yang artinya ‘motor milik Poji’; kermuti berarti ‘Aurora gadis cantik’ ditambahkan oleh kawan Garibaldi yang butuh pernyataan untuk dirinya sendiri; pernah ada sebuah ruang pamer yang bernama Aarmuh (artinya ‘halo’) di Bandung; dan sebuah band independen bernama Curmiu (artinya ‘cumi hitam berkepala naga’). Ada juga Fajar Abadi, seorang pelaku seni rupa pertunjukan yang secara metodik selalu melibatkan orang lain dalam proses berpikir, penciptaan, dan setiap aksi dalam karyanya. Pada 2006, Abadi bekerja sama dengan Garibaldi dan menggunakan bahasa Terhah dalam seni rupa pertunjukannya. Mereka berdua bergantian menggantung dirinya (semacam berdiri terbalik) dan bersahutan membaca puisi karangan mereka sendiri dalam bahasa Terhah sembari merayu dan menggoda para perempuan yang lalu lalang di sekitar mereka. Tentu saja tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan kedua bujangan ini dan mereka dengan sadar sungguh sengaja melakukannya.
Seluruh proses ini, dari inisiatif Garibaldi menciptakan bahasa Terhah sampai peran aktif kawan-kawannya memperkarya kosakata dan mempopulerkan bahasa Terhah, bisa saja dibilang sebagai keisengan belaka. Tiga puluh tahun lalu, salah satu pemikir seni rupa Indonesia Sanento Yuliman bilang begini: Sayang, paham ‘seni sebagai kegembiraan bekerja’ tidak populer di negri kita, dan jika orang membicarakan seni, orang cenderung menjauhkan seni dari kerja lain-lainnya.[4] Bagian pertama dari pernyataan tersebut memicu kita untuk memikirkan kembali posisi kerja seni dalam seni rupa kontemporer belakangan ini. Padahal, yang bisa kita ambil dari penyebaran bahasa Terhah justru semangat dan kegembiraan para penggunanya.
Rasanya begitu juga dalam seni-seni lain di Indonesia. Coba saja Anda tilik persiapan wayang semalam suntuk. Besar kemungkinannya di balik panggung Anda akan menemukan sang sinden sedang tergelak bersama para pemain gamelan sembari memupur bedak dan gincunya. Sinden dan para pemain gamelan jelas bukan tokoh utama dalam pagelaran wayang. Keduanya juga tak bisa dijadikan pekerjaan semata yang menghidupi mereka. Pun dalang bisa dianggap sebagai tokoh utama, sebuah pagelaran wayang tidak pernah ada tanpa alasan semacam perayaan kelahiran, kenaikan pangkat, ulang tahun, unduh mantu, upacara desa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ia tidak mungkin mendalang tanpa orang lain ‘memesannya’ sebagai salah satu pelengkap dalam beragam ritual sosial tadi. Si orang lain alias pemesan ini jelas berada dalam kelas sosial yang lebih tinggi.
Namun, posisi-posisi ini tidak diperdebatkan dan tidak menjadi perdebatan. Spekulasi saya sederhana: Feodalisme bukan kenyataan baru dalam kehidupan sehari-hari. Hirarki raja dan rakyat dan ilusi bahwa kerajaan adalah penjaga ketentraman masih berhasil dikelola sampai hari ini. Oleh karena itu, rakyat tidak punya suatu apapun yang perlu dituntut—seolah semua yang menjadi hak mereka sudah dipenuhi. Dengan itu, seluruh konstelasi seniman—pekerja—dalam pagelaran wayang ini menjadi setara. Masing-masing dari mereka adalah rakyat. Mereka tentram. Mereka adalah orang-orang dengan kemampuan yang khusus; seni menghibur. Lalu, bagaimana bisa kita bilang kegembiraan absen dari kerja seni di Indonesia?
Mungkin pernyataan Yuliman tadi hanya masuk akal dalam konteks ‘seni rupa atas[5]’. Itupun seni rupa atas sekitar 30-an tahun yang lalu. Dalam kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia kelas menengah (dan ke atas) nyaris 10 tahun pasca-reformasi, kesetaraan, kebersamaan, atau egalitarianisme bagaikan mimpi yang terwujud. Setelah 32 tahun dipimpin oleh seorang diktator, bahkan sampai sekarang, gagasan demokrasi dan bagaimana negara bisa berperan belum juga sampai pada kesepakatan tertentu, apalagi berlangsung. Oleh karena itu, pasca-reformasi, segala bentuk dan kegiatan yang menawarkan keterbukaan dan secercah harapan akan demokrasi, cenderung segera dirayakan. Kegembiraan dianggap lambang kebebasan manusia dari tuntutan tertentu dan menawarkan ilusi bahwa apa yang dikerjakan adalah karena kita menyukai, menyenangi, dan memilih untuk mengerjakannya. Semua orang berlomba menawarkan rasa nyaman (feel good) dalam beragam ‘barang jualannya’ (entah itu ideologi politik, kepercayaan/agama, gaya hidup, makanan, bahkan perumahan).
Bagaimanapun juga, salah satu fungsi bahasa adalah menjadi alat untuk menyatakan ekspresi diri dan berkomunikasi. Selain berlapis masalah penilaian karya seni yang akan membuat kita tenggelam dalam perdebatan soal institusi dan institusionalisasi konsep seni, seniman adalah salah satu elemen yang (selalu) perlu dilihat, dibaca, dan dikaji.[6] Garibaldi membuat bahasa Terhah sebagai salah satu eksperimentasinya dalam berkarya seni. Pada waktu itu, ia sedang gandrung mengikuti bahasa Esperanto. Diciptakan L. L. Zamenhof pada 1887, Esperanto memang selalu menjadi rujukan ketika membicarakan bahasa konstruksi. Bukan kerumitan konstruksi bahasa tersebut yang menarik perhatian Garibaldi, tetapi justru media penyebaran bahasanya. Mulai dari forum-forum, komik, poster, dan lain sebagainya.
Segera setelah selesai, bahasa Terhah dibagi Garibaldi kepada kawan-kawannya, orang lain. Anggapan saya tadi bahwa bahasa Terhah bisa jadi diciptakan dalam rangka iseng belaka adalah salah satu aspek yang juga perlu dipertimbangkan. Iseng belaka (bisa) berarti bahwa bahasa ini bebas dari tujuan politis dan praktis, apalagi agenda yang menyasar-langsung para penggunanya. (Seperti, misalnya, iklan produk, kampanye politik, penyebaran agama, dlsb.) Keisengan inilah yang serta-merta memberikan kawan-kawan pengguna bahasa Terhah kesempatan menjadi tokoh-tokoh dalam pembangunan tujuan, fungsi, guna bahasa Terhah. Keterbukaan ini menciptakan sebuah common ground antara pencipta –pengguna dan membuka kemungkinan atas ruang kepemilikan bersama. Kesuka-riaan dan keterlibatan kawan-kawan pengguna bahasa Terhah itu bermuasal pada ilusi kesetaraan dan demokrasi.
Gejala menjamurnya bahasa Terhah dalam ruang lingkup sosial kehidupan Garibaldi ini menarik diperhatikan dengan kerangka berpikir Suka Hardjana; bahwa praktik seni di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan ritual dalam masyarakat tempat ia berada. “Kalau kita bicara tentang hubungan seni dan masyarakat, entah itu seni dalam masyarakat atau seni untuk masyarakat; kita menjadi bingung justru ketika kita belajar seni dalam perspektif pemahaman di Barat. Ini bukan berarti orang Barat salah, tetapi karena pendekatan kita yang barangkali berbeda. […] Memang dalam sejarah Barat ada kecenderungan memisahkan antara seni dan masyarakat sehingga seni kemudian berdiri sendiri terpisah dari masyarakat. […] Kesalahan kita adalah kita ikut-ikutan, melu-melu, mau membangung sesuatu yang disebut ars nova atau art itu; membuat seni yang terpisah dari konteksnya. Artinya, dalam konteksnya itu seni yang dipisahkan dari masyarakat, seni yang dipisahkan dari ritual, seni yang dipisahan dari social intercourse. Kita jadi asing. Seni yang seperti itu sebetulnya nggak ada kok di sini. Seni selalu terkait dengan konteks sosial, konteks religi, atau selalu terkait dengan konteks apapun. Secara fenomenologis, konteksnya adalah masyarakat. Jadi dia bukan seni yang berdiri sendiri.”[7]
Keterlibatan para pengguna dalam penyebaran bahasa Terhah bisa jadi sebuah usaha bersama untuk menjadikannya sebuah ritual dalam kehidupan. Tidak soal apabila kehidupan yang diperbincangkan hanyalah sebatas kalangan mereka sendiri (para pengguna). Oleh karena itu, saya ingin mengajukan sebuah spekulasi: Dukungan kawan-kawan pengguna bahasa Terhah ini sebagai upaya untuk mengembalikan seni dalam konteks yang kita kenal sehari-hari di Indonesia—atau jangan-jangan di seluruh belahan dunia yang dianggap Timur ini. Seni yang adalah bagian dari ritual kehidupan masyarakatnya.
Spekulasi saya adalah bahwa kawan-kawan yang menggunakan dan menyebarkan bahasa Terhah sesungguhnya sedang berupaya mengembalikan seni sebagai ritual sehari-hari. Spekulasi ini saya bangun berlandaskan keyakinan bahwa kami semua jenuh dengan kecenderungan yang berlangsung belakangan ini: Beragam istilah atau terma diserap dari bahasa asing dan dengan mudah dipasangkan saja pada praktik seni rupa di sekitar kita seolah-olah ia serta-merta padan. Padahal, kalau ditelisik lagi, terma-terma itu selalu lahir beserta konteks yang spesifik. Sehingga, walaupun secara definitif terma tersebut bisa saja pas pada beberapa kegiatan seni, konteksnya selalu jadi berbeda.[8] Perbedaan konteks artinya perbedaan latar belakang—sosial, politik, ekonomi, budaya, segalanya. Dengan konteks yang berbeda, kebutuhan, cara berpikir, cara bekerja, bahkan pilihan bahan, sikap yang diambil, dan langkah kerja menjadi sama sekali berbeda. Sedemikian berbedanya sampai-sampai sesungguhnya lebih tepat kalau kita tidak menggunakan terma tersebut. Seperti bahasa, terma dibuat untuk mengomunikasikan sejumlah kesepakatan atau paham atas suatu konsep dengan lebih mudah.
Apakah upaya tersebut merupakan upaya yang sadar? Saya rasa tidak dan tidak perlu. Seperti yang disinggung Hardjana, seni di Indonesia selalu terkait dengan masyarakatnya, selalu terkait dengan kehidupan sehari-hari. Upaya mengembalikan praktik kesenian ke level ini bisa jadi kerinduan intuitif untuk kembali kepada bentuk kesenian yang paling masuk akal dan sesungguhnya mendarah-daging dalam kehidupan sosial kami. Sebentar, bukankah kita sedang bicara tentang seni? Sebelum berusaha meredefinisi seni, izinkan saya bertanya, seni yang manakah yang sedang kita bicarakan? Saya rasa itu pertanyaan yang relevan sebelum memasuki perbincangan tentang sistem pengenalan.
Catatan kaki
[1] KERAF, Gorys. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasan (cetakan ke-9). Ende, Flores, Indonesia: Nusa Indah, 1993, hal. 1-2.
[2] SUGONDO, Dendy. Dalam Pidato pembukaan Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
[3] Dalam konteks pemasaran terkini, mereka yang disebut pengguna adalah orang-orang yang berdaya mempersonifikasi apapun yang dibelinya dan dipakainya menjadi sesuatu bukan sekedar memenuhi kebutuhannya tetapi juga dengan gaya mereka sendiri. Kajian awal perihal ini sesungguhnya muncul dari ranah hukum. Baca BENKLER, Yochai. From Consumers to Users: Shifting the Deeper Structures of Regulation Towards Sustainable Commons and User Access. Diterbitkan dalam Federal Communications Law Journal Vol. 52. USA: George Washington University Law School, 1999-2000, hal. 561-579
[4] YULIMAN, Sanento. Dua Seni Rupa. Makalah untuk Simposium Nasional Seni Rupa, di Dewan Kesenian Surabaya, Juli 1984.
[5] ‘Seni rupa atas’ dipelajari di sekolah dan tidak punya fungsi praktis; sementara ‘seni rupa bawah’ lebih didominasi oleh seniman otodidak, bisa punya fungsi praktis, cenderung punya posisi dalam tatanan masyarakatnya. Lebih lengkapnya tentang ini, baca HASAN, Asikin. Dua Seni Rupa: Kumpulan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta, Indonesia: Penerbit Yayasan Kalam, 2001.
[6] When a curator hangs it on the wall of a museum, it “becomes” a work of art. […] Simply put, the agencies of the art world—academe, media, the gallery/museum network, the art market, State cultural bureaucracies, connoisseurs and collectors, publicists and dealers, culture industries—send off to their publics the “signals” of art, locating them within the proper institutional scheme, and ingraining in them the appropriate aesthetic reception, disposition, or attitude to accept and include some things as art and reject and exclude others as anything but art. It is in this context that our notions of art are constructed, validated, reproduced, and disseminated to “others” whom we think must be guided by the same principles. […] In short, this education has made us part of an art world that privileges specific norms governing and regulating the production of art. This is why it has become almost second nature for us to judge the artistic credence of something as if that something were “naturally” artistic or non-artistic. What we have forgotten or what has been hidden from our “sight” is that these judgements are just constructions of a particular culture and of an industry of culture. And there are other cultures that would construe art in different terms, in different scales and harmonies. Who is to say that their standards are any less valid? It is not only the concept of art that must be analyzed, however, but also that of artist.
Excerpted from FLORES, Patrick D. Teaching/Learning the Humanities in Other Words/Worlds (Part 2). Reading materials for Art History, Theory, and Criticism at the University of the Philippines at Diliman, 2010. (Highlights added.)
[7] SUNARDI, ST; SUPRATIKNYA, A; dan PRABAVA, Ardian. SUKA HARDJANA: Manusia Anomali Tanpa Kompromi. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014, hal. 31-35 (Seni dan Masyarakat).
[8] Saya sendiri terganggu dengan populernya terma-terma semacam seni partisipatoris atau seni komunitas belakangan ini. Boleh saja kita menyalahkan Claire Bishop, Artificial Hells: Participatory Art and the Politics of Spectatorship (New York, USA: Verso, 2012), untuk itu. Jenis-jenis keterlibatan (publik) yang diberi nilai ini—sampai muncul dikotomi terlibat aktif dan terlibat pasif—benar-benar tak bisa diterapkan dalam kondisi sosial di Indonesia. Pertama, tidak ada badan pendanaan (baik dari negara maupun swasta) yang menyokong lahirnya jenis kesenian macam ini. Kedua, kembali ke apa yang dipaparkan Hardjana, seni di Indonesia selalu lahir dari konteks sosialnya; walau ia tidak punya guna praktis, ia selalu punya guna non-materialistik.
Kalau mau melihat ke belakang, semenjak 1970-an, usaha menciptakan terma sendiri untuk praktik kesenian di Indonesia selalu ada. Misalnya, ‘seni lukis mistar’ pada tengah 1970-an atau usaha penerjemahan istilah dalam seni yang secara disiplin dilakukan oleh Prof. Sudjoko Danoesoebrata (1928 – 2006) dan dalam seni rupa dibukukan oleh oleh Adjat Sakri, Mocthar Apin, Sanento Yuliman, G. Sidharta, dan A. Subarna dalam Daftar Istilah Seni Rupa (Bandung, Indonesia: Penerbit ITB, 1985); dst.
Kuandu Biennale 2014: Recognition System
(To view the show, click here.)Asian Contemporary Art Forum
September 26, 9:00 am
at the Conference Hall
(Taipei National University of the Arts)The biennale opens on
Friday, September 26, 5.30 pm
at the Kuandu Museum of Fine ArtsThe biennale runs until December 14
Open from Tue to Sun, 10:00 am – 5:00 pmArtists + curators
CHANG Yung-Ta + GUO Jau-Lan
Syaiful GARIBALDI + Grace SAMBOH
David HAINES + Jasmin STEPHENS
JANG Suk-Joon + SUL Won-Gi
KAO Chung-Li + LIU Yung-Hao
Mami KOSEMURA + Toyomi HOSHINA
KWAN Sheung – Chi + Anthony YUNG
LI Gang + WANG Huang-Sheng
Money Faketory + Pichaya Aime SUPHAVANIJ
Valay SHENDE + Veeranganakumari SOLANKI展覽介紹
面對當前人類所建構出來的文化價值與自由意識,當代藝術該如何被重組拆解?藝術家又該如何自處?2014 年關渡雙年展於 9 月26 日在關渡美術館盛大開幕,邀請來自亞洲各國不同地區的藝術家及策展人,透過各自的文化背景與國際視野,交織出專屬於藝術家眼中的世界樣貌。10+10:十位藝術家與十位策展人的聯手演繹
今年的關渡雙年展以「識別系統Recognition System」為題,試圖以“識別”(Recognition)作為「動詞」,介入各項藝術生產的「系統」,方法論重新做出實踐、解讀知識體系生成的脈絡,與藝術的生產樣態,從過程中尋求彼此的共識與價值。從歷史文明的推演,到天際線下的地景樣貌;從日常可觸的庶民經濟學,到有機世界的微型感知…由十組不同藝術家的「個展」(Solo)組合而成,呈現各自的藝術主張,藉由不同的對話產生,或類比聚集、或歧異對立…在彼此競合交流中體現出全新的亞洲當代「識別系統」。Introduction
Faced with the current cultural values and sense of freedom constructed by human beings, and how contemporary art is reorganized dismantling? And how artists from the Department? 2014 Guandu Biennale in September 26 grand opening of the Museum of Fine Arts in Guandu, inviting artists and curators from different parts of Asian countries, through their cultural background and international perspective, cutting out the exclusive appearance of the artist in the eyes of the world .Joint interpretation of the ten artists and ten curators: 10 + 10
This year’s Biennale in Guandu “Recognition System Recognition System” in the title, trying to “identify” (Recognition) as a “verb” intervention of the artistic production of “system” to make practical methodology to re-interpret knowledge generation context, and production-like state of the art, to seek consensus and value each other from the process. From deduction history of civilization, the landscape appearance skyline under; touchable common people from everyday economics to micro-organic world perception … portfolio consists of ten groups of different artists ‘solo’ (Solo) together, showing their arts advocates, generated by a different dialogue, or analogy aggregation, or differences in mutual opposition … competing exchanges reflect the new Asian contemporary “identification system.”