Mengurai bahan, mempertanyakan guna

Aditya Novali kerap dicurigai sebagai seorang seniman yang bekerja dengan basis eksplorasi medium atau bahan. Padahal, baru tahun ini ia mengarah ke sana.

Aditya Novali - Painting Sense4-Diagram of A Canvas as A Language

Sebelumnya, pada pameran tunggalnya Indoscape (2011), misalnya, ia berusaha membicarakan ruang dan perilaku manusia terhadap dirinya sendiri dalam konteks Indonesia. Ia membuat beberapa lukisan yang bisa berganti gambar ketika kanvasnya diputar. Lukisan itu berjudul A House is Not a Home Series: Silent Scream, Metropolitan Landscape, dan Metropolitan Monument. Ia juga membuat Invisible Structure, sebuah instalasi tembaga berlapis perak yang terlihat seperti rangka bangunan, dan Invisible Space, maket bangunan berbahan kaca plexi yang dikelompokkannya ke dalam satu seri, Infinity Series.

Dari ragam jenis karyanya, penjelajahan Aditya memang terlihat seperti berangkat dari persoalan bentuk—baik bahan maupun medium. Padahal, ia lebih sering memulai proyek atau seri barunya dengan kerangka berpikir yang cenderung struktural atas sebuah gagasan tertentu. Dalam Indoscape itu, ia justru berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana manusia urban Indonesia menyikapi ruang. Karya-karya yang dikelompokkan Aditya pada setiap serinya saat itu lebih berdasarkan penjelajahan gagasan atau pertanyaannya ketimbang pencarian berlandaskan bentuk.

Baru pada awal 2014 ini, Aditya menemukan metode baru, yang ingin ia wujudkan pada pameran tunggalnya, Painting Sense—yang akhirnya digelar mulai 12 Juli ini. Di tengah proses Aditya merancang pamerannya, ia beberapa kali mendapat undangan pameran bersama. Salah satunya pameran di Ark Galerie, Yogyakarta, pada Maret – Mei 2014, bertajuk The Wall / Structure / Construction / Border / Memory, yang juga diikuti Eko Prawoto, Iswanto H., dan Tintin Wulia.

IMG_9952

Pada pameran itu, Aditya mulai mencoba metode baru. Di ruang pamer Ark Galerie, Aditya menampilkan karya Ngaco: Solution for Nation, yang menyerupai depo bangunan. Tampak dua orang pramuniaga berseragam sedang menawarkan beragam jenis produk bahan bangunan yang bermerek Ngaco. Dari sembilan jenis produk yang dipajang di kios-kiosan itu, yang paling kelihatan adalah batu bata. Ada dua edisi khusus batu bata, yang satu berukuran empat kali lipat ukuran aslinya dan yang lainnya seukuran jempol. Di antara yang besar dan kecil tadi, ada juga batu bata berukuran umum (tidak didiskon), yang sedikit lebih kecil (diskon 20 persen), yang lebih kecil lagi (diskon 50 persen), dan yang lebih kecil lagi (diskon 70 persen). Terakhir, ada tiga jenis batu bata berukuran umum namum tergolong edisi terbatas—berkerangka alumunium, terbungkus kaca, dan yang berpori lebih besar terbungkus kawat strimin. Barang lain yang perlu diperhatikan sedikit lebih jeli adalah meteran. Kelima buah meteran gulung yang dipajang di sana memiliki lima varian ukuran yang berbeda. Padahal semestinya ukuran meteran itu baku.

Produk lain dalam kios itu dihadirkan dalam ragam jenis yang tak kalah banyaknya dengan batu bata dan meteran itu. Ada kerangka besi, semen, waterpass, saringan untuk mengayak semen, kuas gulung, cat, dan topi keamanan pekerja bangunan. Andai kios Ngaco ini Anda temukan di sebuah pameran bangunan, sekilas pandang, Anda tidak akan mencurigainya sebagai sebuah karya seni instalasi.

Instalasi kios Ngaco: Solution for Nation ini cenderung memancing kita berpikir tentang gagasan yang ingin disampaikan oleh seniman dengan latar belakang pendidikan arsitektur dan desain konseptual ini. Ah, Indonesia yang ngaco! Sepertinya orang akan segera sepakat dengan pernyataan itu. Tapi ada yang aneh dengan instalasi itu: sebagai sebuah kios depo bangunan, barang-barang di dalamnya hanyalah bahan dasar untuk membangun tembok.

Melalui karya Ngaco, Aditya memang sedang mempertanyakan kembali konsep pembatas dalam struktur sosial kita hari ini. Namun, ia melakukannya dengan metode barunya dalam berkarya, yaitu bekerja dengan basis penjelajahan gagasan berdasarkan bahan atau medium. Dalam Ngaco, ia mengurai bahan-bahan utama dalam pembuatan tembok (secara fisik) sembari mempertanyakan bagaimana material tersebut digunakan sesuai kebutuhan sang pembangun.

IMG_1477
IMG_1487

Metode penguraian bahan itu, ia lakukan lagi pada karyanya di ART|JOG 2014 pada Juni lalu. Di pasar seni rupa itu, Aditya membuat instalasi objek yang tampil bagaikan kios. Judulnya, Made In/By/For Indonesia. Di kios itu ada beragam jenis bros garuda dan mata uang yang dibingkai. Di satu sisi dindingnya, ada pula proyeksi video bergambar kaos-kaos partai yang digantung. Kaos-kaos partai itu ternyata terus berganti gambar dan warna. Sebentar saja Anda perhatikan, Anda akan menyadari bahwa tak jarang logo partai tertentu muncul dengan latar warna yang salah (kaos Partai Amanat Nasional berlatar kuning, misalnya, atau kaos Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berlatar hijau). Kekacauan yang ditata memang kerap hadir dalam karya Aditya.

Karya Made In/By/For Indonesia ini, tak cuma terlihat bagaikan sebuah toko, tapi juga museum sejarah politik negara. Apakah ia memang sedang berusaha menampilkan toko sebagai situs pertukaran ekonomi—bagian kecil dari sistem kapital yang berlangsung di permukaan bumi kita sekarang? Yang pasti, ia sedang terus mengeksplorasi metode berkarya barunya itu, yang tak cuma mengurai bahan, melainkan juga mempertanyakan guna ragam bahan tersebut.

Untuk pameran tunggalnya di ROH Projects pada Juli – Agustus 2014, Aditya menjelajahi persoalan lukisan. Dari mana munculnya gagasan tentang lukisan atau mengapa lukisan yang dipilihnya sebagai medium sepertinya tidak terlalu penting. Yang menarik justru caranya “mengurai bahan”—bagaimana ia menerapkan metode barunya dalam pameran yang sudah dirancangnya sejak awal tahun ini.

“Awalnya sederhana sekali,” ujar Aditya. “Orang sering bertanya kenapa saya tidak lagi melukis.” Sembari mempertanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri, ia menyiapkan bahan-bahan seolah akan mulai melukis lagi. Perlahan, pertanyaannya berpindah ke soal bahan. Ia jadi asyik mengamati bagaimana bahan itu mungkin digunakan. Dalam pertanyaannya atas bahan itu, ia teringat kembali bagaimana kerincian seorang pelukis atas bahan-bahan catnya jarang sekali diperhatikan orang. Pertama, karena bahan cat tak begitu kelihatan—mungkin juga tak perlu tampak. Kedua, karena butuh kejelian tertentu untuk memahami bahan cat. Ketiga, bagaimana rincian itu diam-diam dijadikan obsesi tertentu oleh pelukisnya sendiri, penikmatnya, ataupun pemiliknya di kemudian hari.

Aditya Novali - Painting Sense7-The Logic of A Canvas

Dalam Painting Sense, Anda akan menemukan hasil dedahan Aditya terhadap tiga bahan utama sebuah lukisan—kanvas, kerangka kayu, dan paku—beserta sejumlah alat melukisnya: kuas, penggulung cat, pensil, dan cat. Dalam bahasa Inggris, painting bisa berarti to paint, aksi melukis, atau lukisan itu sendiri. Karena Aditya berangkat dari persiapan melukis, yang diselidikinya adalah kanvas sebagai (salah satu) medium untuk membuat lukisan. Penjelajahannya atas kanvas itu menjadi karya The Logic of Painting, empat buah benda yang segera bisa kita kenali sebagai kanvas. Yang pertama adalah kanvas yang umum Anda temui di mana-mana dengan ukuran 150 x 110 x 3 cm, kanvas yang seluruhnya berbahan kanvas (termasuk spanram dan pakunya) dengan ukuran 113 x 83 x 2,5 cm, kanvas berbagan kayu dengan ukuran 81 x 63 x 3 cm, dan kanvas berbahan besi dengan ukuran 1,3 x 1 x 0,2 cm. Kanvas kedua dan selanjutnya itu dibuat berdasarkan jumlah volume bahan yang dipakai untuk membuat kanvas pertama. Paku tentunya adalah penggunaan yang paling sedikit dalam komposisi bahan pembuatan kanvas tersebut sehingga kanvas berbahan besi itu menjadi yang paling kecil ukurannya.

Ini permainan logika yang dipilih Aditya: mempersiapkan kanvas, mempertanyakan bahan-bahan sebuah kanvas, menggunakan bahan-bahan tersebut dalam pembuatan bentuk sebuah kanvas.

Aditya Novali - Painting Sense8-The Logic of A Brush

Dalam karya-karya lainnya, ada sejumlah permainan lain yang diciptakan Aditya dalam penjelajahannya atas bahan-bahan dasar lukisan. The Logic of Brush, misalnya, menghadirkan permainan beragam bahan yang sesungguhnya berada di sekitar si kuas itu sendiri. Misalnya kuas dari bahan seng yang merupakan pengikat kuas, dari bahan bulu kuas itu sendiri, dari kayu yang digunakan sebagai batangnya, permainan ragam ukuran si kuas, dan lain sebagainya.

Ada juga permainan ragam spanram yang ditawarkan Aditya dalam Diagram of Canvas as a Language, berupa bentuk diagramatik dan sebagai kemungkinan bahasa atau pesan lain yang dititipkan—diam-diam—oleh sang seniman. Atau mungkin juga oleh sang pemilik karya setelah membeli dan memasang ulang si karya tersebut sesuai kebutuhannya.

Apa yang kurang dalam penjelajahan perihal bahan-bahan lukisan Aditya ini? Dari kanvas, spanram, dan kuas—tinggal cat yang belum. Namun, “Cat itu bukan soal warna,” ujar Aditya. “Ia adalah soal apa yang ditoreh, dipupur, dioles, di atas si kanvas untuk menghasilkan lukisan.”

Permainan apa yang diciptakan Aditya atas penjelajahannya perihal cat itu? Aditya bukan seseorang yang bekerja dengan banyak warna dalam karya-karya terdahulunya. Penjelajahannya atas warna dalam konteks lukisan ini dibawanya ke arah penciptaan warna tanpa menggunakan bahan-bahan pewarna yang umum (pigmen, perekat, pelarut, dan aditif atau apa pun tambahannya). Ia menjelajahi kemungkinan menghasilkan warna dari bahan-bahan di seputar lukisan tadi. Ia menggunakan pengencer, lem, bubuk karat, dan sejumlah bahan lain yang bisa menempel di atas kanvas sebagai pewarna. Aditya melakukan beragam percobaan pencampuran bahan-bahan tadi dan perubahan warna yang terjadi karena reaksi kimiawinya. Yang ia anggap berhasil menjadi pewarna sesuai kebutuhannya melukis, kemudian ditorehkannya di atas kanvas seolah ia adalah cat.

Metode mengurai bahan dan mempertanyakan guna ini menjadi moda berkarya Aditya saat ini. Dalam perjalanan artistiknya sebelum ini, ia lebih sering berangkat dari tradisi berpikir konseptual dan cenderung mengerjakan karyanya secara bertahap dan tertata layaknya seorang arsitek atau desainer. Saat itu, gagasan adalah yang terdepan. Metode selalu dalam posisi menjadi alat untuk merealisasikan gagasan tertentu. Sekarang, dengan mengedepankan metode, gagasan justru bisa muncul dari mana saja. Moda ini juga membuka kemungkinan bagi Aditya untuk bertemu dengan kesalahan, belajar dari kegagalan, dan menjadi fleksibel menyikapi bentuk.

***

Tinjauan pameran ini dimuat di Majalah Sarasvati, Edisi JULI, 2014.

Pameran tunggal Aditya Novali, Painting Senses, berlangsung di ROH Projects, Jakarta, pada 12 Juli – 16 Agustus 2014. Klik di sini untuk melihat pameran.

Klik di sini untuk mengakses situs pribadi Aditya Novali.

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.
%d bloggers like this: