Kenapa saya tidak percaya agama #1

Tentunya, mudah sekali untuk percaya pada tuhan yang nun jauh di angkasa sana. Apalagi, dalam agama-agama yang memercayainya, masing-masing tuhannya memberi petunjuk-petunjuk bagaimana menjalani hidup dengan baik. Dia menjanjikan hidup yang abadi setelah kehidupan dimana Anda sekalian sedang membaca tulisan saya ini. Tak ada satupun yang bisa menyangkal segala kebijaksaannya.

Dahsyatnya, institusi-institusi yang bergerak atas namanya, kadang berperilaku sepertinya. Seakan mereka adalah perpanjangan tangan (atau suara) dari yang mereka percaya sebagai tuhan.

Misalnya, dalam Katolik perceraian tidak ditoleransi sedikitpun. Kalaupun ada kasus-kasus tertentu dimana akhirnya ada toleransi, rasanya prosentasenya masih terlalu kecil untuk bisa diakui. Bagaimana kalau ternyata dalam pernikahan itu satu pihak nyata-nyatanya menekan atau bahkan menyiksa pihak yang lainnya? Okelah, terlalu sulit untuk membuktikan siksaan mental; tapi, siksaan fisikpun tak akan membuat pihak gereja menyetujui perceraian. Kalaupun ada surat cerai yang bisa ditandatangani, gereja Katolik kemudian tak mengizinkan anggotanya yang bercerai untuk menerima perjamuan (ekaristi, hosti, apalah itu namanya).

Atau, dalam Kristen, yang sedikit lebih luwes dari dogma-dogma gerejawi Katolik dan tidak anti terhadap perceraian –walau dalam sumpah pernikahannya tetap ada kalimat-kalimat model, “… yang sudah dipersatukan tuhan tak bisa dipisahkan manusia.” Dalam Kristen, pernikahan beda agama diizinkan. Yang mengherankan, syaratnya adalah pihak non-Kristen harus menandatangani surat pernyataan bahwa mereka akan mempelajari Kristen. Bolehlah Anda berkata saya naïf; karena saya mengasumsikan bahwa surat ini tujuan akhirnya adalah konversi agama.

Sayang, saya tak bisa memberikan contoh yang berlangsung dalam Islam atau dalam agama-agama non-samawi lainnya. Ya, saya memang dibesarkan dengan budaya Kristen. Yang pasti, dari kedua ilustrasi di atas saya ingin mempertanyakan perihal kepercayaan kepada agama dan kepada tuhan. Apakah tuhan menitahkan suatu agama? Apakah agama yang satu lebih baik dan benar daripada yang lain? Kalau ya, siapa yang mana?

Semua agama mengajarkan kebaikan. Semua agama bermuara pada kesejahteraan umat manusia. Yang saya heran: kesejahteraan dalam agama-agama samawi diasosiasikan dengan kehidupan setelah kehidupan sekarang. Apa yang salah kehidupan sekarang? Kenapa kehidupan sekarang dikatakan hanya sebagai jalan penuh cobaan menuju kehidupan mendatang? Lalu, bagaimana dengan kehidupan sekarang? Mungkin saya terlalu naïf, tapi, dalam hal ini, saya lebih suka bilang bahwa saya realistis.

Begini pasalnya: Suatu ketika waktu saya masih terlalu kecil untuk mempertanyakan hal-hal macam ini, saya pernah bertanya pada ibu saya, “Ma, kalau cuma orang yang dibaptis dan percaya Tuhan Yesus yang masuk surga, terus Mbak Rub gimana?” Si mbak yang saya acu di sini adalah pengasuh saya semenjak kecil ¾sampai sekarang ia masih bekerja untuk keluarga kami¾, yang tentunya adalah orang yang sangat penting dalam kehidupan saya. Waktu itu, ibu saya hanya tersenyum dan bilang, “Semua orang baik masuk surga, sayang.”

Sekarang, saya belajar bahwa tidak ada agama manapun yang lebih baik dan benar dari yang lainnya. Sekarang, saya tersenyum setiap mengingat jawaban ibu saya. Saya yakin jawabannyalah yang membuat saya menjadi saya yang sekarang. Apa pentingnya membahas saya yang sekarang dalam konteks tulisan yang seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya ajukan di atas? Teruslah membaca.

Yah, sekarang saya sudah cukup besar dan cukup iseng untuk baca-baca soal agama-agama yang sebenarnya saling ribut dan saling merasa masing-masing lebih baik dan benar dari pada yang lain. Akhirnya, sekarang saya menemukan diri saya tak percaya pada agama manapun, walau saya ternyata masih percaya pada tuhan. Ya, saya harus mengakui bahwa saya tak bisa seperti para mereka yang menganut agama-agama non-samawi. Saya tetap percaya pada sosok yang jauh dari realita keseharian saya yang menuntun saya untuk melakukan ini dan itu ¾yang remeh sekalipun¾, walau tetap saya tak percaya institusi apapun yang mengatasnamakan tuhan.

Saya hanya percaya kalau semua umat manusia perlu menjalani kehidupannya sebaik mungkin. Seperti apa kehidupan yang baik itu, biarlah semua orang mendefinisikannya sendiri-sendiri. Setiap bangsa, setiap kebudayaan, di belahan bumi ini pasti punya definisinya masing-masing. Yang pasti, manusia tidak hidup sendiri. Banyak makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. Maka, sudah sewajarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia berbuat baik pada makhluk hidup lainnya di muka bumi ini ¾apalagi mereka yang ada dalam lingkungan terdekat.

Saya sering menemukan kejadian di mana manusia mempertahankan perilaku tertentu karena agama yang dianutnya (atau yang dipercayanya sebagai tuhan ) menyarankan untuk demikian. Padahal, pertahanannya perlahan-lahan menghancurkan kemanusiaan. Misalnya, contoh perceraian menurut Katolik yang saya ilustrasikan tadi. Bagaimana sebuah keluarga dipertahankan padahal sang ibu sudah tak lagi tidur satu kamar dengan sang ayah, bahkan tak berbicara sepatah katapun, namun tetap sama-sama duduk dalam satu meja makan dengan anak-anaknya? Apa jawaban mereka ketika anak mereka bertanya, “Kenapa sih papa nggak ngomong sama mama?” Bagaimana pula pengaruh perilaku demikian pada kehidupan anak-anaknya? Bukankah itu kekejaman bagi perkembangan kejiwaan sang anak? ¾Ini hanyalah ilustrasi yang saya pilih secara acak dari berjuta-juta kemungkinan bentuk yang ada¾

Maksud saya, bagaimana bisa sebuah institusi yang mengatasnamakan tuhan mengesampingkan kesejahteraan hidup umat manusia? Saya percaya, bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama besarnya untuk menjadi orang baik. Dan, saya percaya bahwa orang baik tidak harus berasal dari agama tertentu. Dalam The witch of Portobello, Paulo Coelho menyampaikan sesuatu yang menarik: “Kita semua mempunyai tugas untuk mencintai dan mengizinkan cinta memanifestasikan dirinya dengan cara yang terbaik menurutnya. […] ‘dosa’ semata-mata […] mengendalikan hati dan pikiran kita. Apakah dosa itu? Dosa adalah menghalangi cinta dari menyatakan dirinya.”

Cinta adalah cikal-bakal perbuatan baik. Menurut saya, daripada repot-repot bertikai antar satu agama dengan agama yang lainnya, akan lebih mudah kalau masing-masing berusaha menjaga diri sendiri dengan tidak menyakiti yang lainnya. Itu adalah langkah pertama yang selayaknya dilakukan manusia di belahan bumi manapun, entah dia percaya tuhan atau tidak dan apapun agama yang dipercayanya. Dengan menjaga diri sendiri, kita tidak menyusahkan orang lain. Dengan tidak menyusahkan orang lain, kita mengurangi kesempatan menyakitinya. Dengan tidak menyakitinya, kita berkesempatan lebih besar untuk memberinya kesempatan bahagia.

Tak perlu ada pihak yang merasa lebih baik atau lebih benar dari yang lainnya; terutama, karena inilah cikal-bakal terjadinya pertikaian (perseteruan, atau apapunlah istilahnya) antar umat manusia. Daripada repot-repot membela apa yang saya percaya lebih baik dan lebih benar dari yang dipercaya orang lain, saya lebih suka saya tidak menyakiti mereka. Lagipula, perjalanan hidup masing-masing orang berbeda; apa yang saya tempuh tidaklah mungkin sama dengan yang ditempuh orang lain. Yang penting, buat saya (dan saya pikir buat berjalannya dunia yang –setidaknya lebih– damai), adalah bagaimana tidak

Kata seorang teman, saya altruis. Saya pikir tidak juga. Saya hanya berpikir alangkah indahnya dunia kalau satu orang berusaha menyenangkan satu orang lainnya, ketimbang menyiksanya. Sementara waktu, saya belum mampu mempertimbangkan terlalu banyak makhluk hidup dalam kehidupan saya. Mungkin juga saya tak akan pernah mampu ¾saya tak terlalu peduli. Yang pasti, saya tahu bahwa saya setidaknya memikirkan manusia lain dalam langkah-langkah yang saya ambil.

Yang pasti, saya tak peduli agama. Saya bahkan merasa tidak punya waktu untuk peduli pada institusi yang, karena perbedaan mereka, saling bertikai itu. Saya hanya ingin berguna bagi sesama saya dalam kehidupan saya sekarang ini.

 

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.

One comment

  1. Pingback: Kenapa saya tidak percaya agama #2 | 葛列斯‧珊保

Comments are closed.

%d bloggers like this: