#memulaisajasulit

  • Madeleine Aggeler, 2019. “Harvard Finds Decades-long Pattern of Sexual Misconduct by Former Professor”, in The Cut, May 5, 2019. Accessible here.
  • Tom Bartlett and Nell Gluckman, 2018. “She Left Harvard. He Got to Stay”, in the The Chronicle daily, February 27, 2018. Accessible here.

Membaca kedua artikel di atas mengingatkan saya akan pertanyaan yang saya unggah beberapa bulan lalu. Waktu itu, karena melihat Herd and Scene (di India), saya mempertanyakan apa yang bisa kita lakukan dalam lingkungan pekerjaan kita, dunia seni dan budaya kita yang berbahasa Indonesia ini. Bukan hanya soal kekerasan seksual yang saya pertanyakan, tetapi juga bentuk-bentuk kekerasan laiinya. Misalnya bully, penyalahgunaan kekuasaan, badmouthing, dlsb. Akibat unggahan itu, saya menerima beberapa tanggapan melalui japri. Mulai dari yang menceritakan pengalaman pribadinya, sampai segelintir orang yang ikut mempertanyakan: Apa yang bisa dilakukan?

Dua tahun lalu, saya bersama banyak perempuan di sekitar saya di Jogja mulai belajar berkumpul dan membicarakan perihal ini. Selain ruang aman untuk kami sama-sama berbagi (dan tentu ini sangat berharga!), belum ada langkah lebih lanjut yang bisa kami ambil. Belum lama ini, beredar sebuah surat pernyataan sikap yang ditujukan untuk komunitas dan galeri seni. Ingin rasanya saya bisa menanda-tangani surat tsb. Tentu saya setuju dengan lingkungan kerja yang dituntut melalui surat tsb. Namun, menurut saya, hal-hal yang yang dicantumkan di dalamnya sesungguhnya tidak bisa dituntut kepada orang lain. Saya percaya bahwa hal-hal tsb harus kita kondisikan, harus kita ciptakan. Selain itu, yang membuat saya juga sulit menanda-tangani surat itu adalah: Kenyataan bahwa saya juga bagian dari sekelompok orang yang pernah memilih untuk diam. Saya diam ketika tahu ada orang dalam lingkungan kerja saya menyakiti orang lain, baik dalam bentuk makian, kata-kata kasar, maupun gosip. Saya pernah diam ketika saya melihat penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kerja saya. Saya pernah diam ketika saya diperkosa orang. Dua orang, bahkan. Kedua orang ini masih aktif berkarya, berpameran, membicarakan kekaryaannya, dan, bahkan memberikan lokakarya (atau bentuk pengajaran lainnya) pada yang lebih muda. Yang bisa saya lakukan? Untuk sekian tahun lamanya, ya, sebatas menghindar bekerja dengan mereka.

Butuh waktu yang sangat lama untuk akhirnya bisa (seolah) enteng saja menceritakan kepada teman lain atau bahkan menulis unggahan ini. Butuh waktu yang lebih lama lagi untuk tidak merasa bersalah bahwa saya pernah memilih diam. Butuh waktu yang cukup lama untuk saya siap akan konsekuensi dari menceritakan kepada sejumlah teman mengenai tragedi yang saya alami sekaligus menyebut nama pelakunya ketika saya anggap perlu. (That it may backfire!) Butuh waktu cukup lama untuk menyadari bahwa lingkungan sosial saya, teman-teman saya, walaupun seidkit, akan membela saya kalau sampai saya dipojokkan karena akhirnya berani jujur. Butuh waktu cukup lama untuk saya tidak membenci kata “tangguh”, sebab sewajarnya kita boleh saja menangis, stress, atau bahkan depresi. Soal waktu, kedua tautan di bawah ini ikut menentramkan saya. (Gugatan pertama terhadap si profesor adalah 1979; baru 2019 ini Harvard mencabut privilesenya. 40 tahun! Gila!) Sekarang, saya ada di posisi yang berpikir bahwa waktu akan berpihak pada kita. Sebab kita punya selama-lamanya untuk mengurai benang kusut ini. Dan, karena bagaimanapun juga ini adalah benang kusut, tak jadi soal dari sisi mana kita berusaha mengurainya. Tak perlu kita mencari-cari mana ujung satu atau satunya terlebih dahulu untuk mulai. Mari mulai dengan mengurai kekusutan di sekitar kita dengan mendengarkan satu sama lain dan ikut menjaga sebisanya. Tak perlu ngoyo, apalagi heroik, wong ini pekerjaan seumur hidup!

Unknown's avatar

About Grace Samboh

Believes in unicorn, conviviality and the struggle towards collective subjectivities—even temporarily.

Leave a comment